Friday 24 March 2017

TUGAS SOFTSKILL

TUGAS 1 ETIKA PROFESI

1.          Tuliskan karakter-karakter tidak ber-ETIKA dalam kehidupan sehari-hari
a.           Berteriak dan mamanggil seseorang dengan kata Binatang
Manusia merupakan mahluk dengan martabat tertinggi disbanding dengan mahluk lainnya. Setiap insan juga memiliki nama dan harga diri masing-masing. Tindakan berteriak dan memanggil seseorang dengan sebutan binatang seperti “Anjing atau Monyet” tentulah sangat tidak beretika terlebih jika dilakukan dihadapan umum. Karena tidak semestinya manusia disederajatkan dengan binatang
b.            Meludahi seseorang
Meludahi seseorang merupakan hal yang sangat tidak beretika karena dianggap sangat merendahkan orang lain. Kebiasaan yang sekarang mulai banyak dilakukan oleh banyak orang tidak pantas dilakukan dengan alasan apapun.
c.             Memakai pakaian minim di tempat umum
Pakaian merupakan salah satu bentuk penghormatan seseorang terhadap dirinya sendiri. Perkembangan teknologi yang membawa banyak dampak salah satunya pakaian yang minim terkadang disalah gunakan oleh banyak pihak. Memakai pakaian didepan umum dianggap kurang beretika karena dapat menjadi tontonan bagi anak-anak ataupun orang dewasa yang berlawanan jenis. Selain itu, hal ini juga dianggap mengganggu pandangan sebagian orang.
d.            Melakukan seks bebas di tempat umum
Seks merupakan hal pribadi yang dimiliki oleh semua orang. Melakukan seks ditempat umum atau di umbar diberbagai tempat maupun media social sangat tidak beretika karena dapat menjadi contoh yang tidak baik bagi remaja maupun anak dibawah umur.

2. Tuliskan aktivitas tidak ber-ETIKA professional dalam bekerja sebagai seorang sarjana Teknik Industri
a.            Korupsi pada sebuah proyek
Seorang sarjana teknik industry tentu diharapkan menjadi seorang pemimpin dalam berbagai macam proyek. Tetapi sangat tidak beretika jika didalam menjalankan tugasnya seorang sarjana teknik indutsri melakukan korupsi atau pengurangan dana untuk kepentingan suatu proyek. Hal ini dapat merugikan berbagai pihak dan merusak proyek yang sedang dijalankan.
b.            Semena-mena terhadap pegawai atau rekan kerja
Sarjana teknik industri dituntut untuk selalu bisa bekerja sama dengan orang lain. Tindakan semena-mena serta merendahkan orang lain baik karena fisik maupun skill dari seseorang menjadi tindakan yang tidak beretika.
c.             Mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya
Tugas dan tanggung jawab menjadi sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan. Tidak beretika seseorang sarjana ygn melimpahkan tugas serta tanggung jawabnya kepada orang lain karena dapat merugikan orang lain.
d.            Melakukan flagiat
Flagiat atau proses duplikasi karya merupakan tindakan yang tidak beretika untuk dilakukan oleh siapapun  terlebih seorang sarjana yang memiliki dasar pendidikan yang baik. Seperti pencotekan design karya sebuah produk.

3.       Jelaskan pentingnya memahami etika profesi untuk Sarjana Teknik Industri
Seorang sarjana teknik industri harus memahami pentingnya etika profesi karena hal ini dapat membuat sarjana teknik industri lebih sadar dan peka terhadap aturan yang berlaku. Dengan pemahaman ini juga seorang sarjana teknik indutsri dapat lebih menghargai dan memahami tingkah laku yang harus dan tidak boleh diperbuat.  Pemahaman ini diharapkan akan menciptakan sarjana teknik industry yang dapat menghargai orang lain, bekerja sesuai tugas dan tanggung jawabnya serta dapat bekerja sama dengan orang lain dengan baik.

4.            Jelaskan dan Uraikan organisasi profesi yang relevan untuk prodi Teknik Industri selain PII
a.        Ikatan Sarjana Teknik dan Manajemen Industri (ISTMI). ISTMI sebagai organisasi profesi dari disiplin Ilmu Teknik Industri (TI) dan Manajemen
Industri (MI) di Indonesia lahir pada tanggal 22 Nopember 1986 di Jakarta. Kelahiran organisasi ini didasari atas pertimbangan bahwa profesi TI dan MI telah diterima di kalangan yang sangat luas sejak masuknya disiplin sekitar 16 tahun sebelumnya. Keberadaannya sudah menembus batas-batas konvensional keteknikan atau keindustrian.
b.            IIE (Institute of Industrial and System Engineering). Institute of Industrial Engineers (IIE) adalah lembaga profesional yang berdedikasi semata-mata untuk mendukung profesi teknik industri dan individu yang terlibat dengan meningkatkan kualitas dan produktivitas.
c.       BKSTI (Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Penyelenggara Pendidikan Tinggi Teknik Industri Indonesia). BKSTI sebagai forum kerjasama antar penyelenggara pendidikan tinggi teknik industri se Indonesia. Tujuan dan Hasil yang diperoleh dari acara tersebut diantaranya adalah sebagai wadah bagi pemangku kepentingan penyelenggara pendidikan tinggi Teknik Industri dalam mendukung komunikasi dan perumusan ide-ide inovatif, kreatif dan bernilai tambah, sebagai wadah bagi peneliti dan praktisi teknik industri dalam berbagi pengetahuan, penelitian, dan pengalaman.
d.       Perhimpunan Ergonomi Indonesia (PEI)
Perhimpunan Ergonomi Indonesia (PEI) adalah organisasi profesi tingkat nasional yang beranggotakan para pakar, pemakai dan peminat. Ergonomi di berbagai bidang yang bersama-sama berhimpun dalam suatu wadah untuk menggalang kemampuan dalam bidangnya masing-masing, membina ergonomi baik dalam keilmuan maupun dalam pemakaiannya sehingga potensi ergonomi dalam Pembangunan Nasional dapat lebih digali dan diwujudkan secara nyata. PEI bertujuan untuk mengembang serta menerapkan iilmu ergonomi dalam berbagai kegiatan teknologi, industri dan berbagai kegiatan lain yang menuntut pendekatan ergonomis, dengan sasaran mencapai keselarasan hubungan timbal-balik antara manusia, alat dan lingkungannya, serta untuk menjaga keseimbangan hubungan unsur-unsur fisikal, sosial, psikologikal bagi peningkatan kualitas hidup yang lebih baik.


SUMBER
syekhfanismd.lecture.ub.ac.id/files/2013/04/PENGERTIAN-ETIKA-PROFESI-K1.pdf
dian.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/42717/ETIKA+PROFESI+(1).pdf
amutiara.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/10043/PENGERTIAN+ETIKA.doc
sharonsoftskill.blogspot.co.id/2016/03/karakter-tidak-beretika.html
annisaapangestu.blogspot.co.id/2016/03/etika-profesi-karakter-karakter-tidak.html
https://deudinul.wordpress.com/2016/04/24/organisasi-dan-kode-etik-profesi-teknik-industri
https://ahmadnaffan.wordpress.com/2016/04/10/organisasi-profesi-beserta-kode-etik-profesinya-yang-relevan-dengan-teknik-industri
http://belajar-industri.blogspot.co.id/2011/08/komunitas-teknik-industri-indonesia-dan.html

Monday 12 May 2014

PERDAGANGAN MANUSIA

Mendengar istilah perdagangan manusia mengingatkan kita pada zaman dahulu, dimana manusia diperjualbelikan dengan bebas, yang kemudian si pembeli manusia tersebut dipekerjakan diberbagai pekerjaan baik rumah tangga, perkebunan, dan lain sebagainya tanpa memberi upah atau gaji.

Fenomena perdagangan manusia saat ini kian marak terjadi di Indonesia khususnya sehingga menjadika negara kita ini menjadi sorotan berbagai lembaga internasional. Data yang dirilis  Internasional  Organization for Migration (IOM) Indonesia tahun 2011, Indonesia menempati peringkat teratas dengan jumlah 3.943 korban perdagangan manusia. Jumlah yang sangat mencengangkan tentunya.

Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan Trafficking sebagai perekrutan, pengiriman orang yang bertujuan untuk eksploitasi. Proses Perdagangan manusia umumnya menggunakan kekerasan, penipuan dan pemaksaan di dalamnya. Eksploitasinya berbentuk pemaksaan untuk menjadi pekerja seks, kerja paksa, perbudakan atau segala hal yang mirip dengan perbudakan atau penjualan organ tubuh. Sementara itu perdagangan anak biasanya berbentuk penjualan anak ke luar negeri untuk diadopsi, untuk dijadikan pengemis atau untuk pemujaan agama.

Sesungguhnya anak adalah harta dan karunia terbesar Yang Maha Kuasa. Dan itu diberikan kepada setiap orang tua dimuka bumi ini. Andil orang tua kepada anak sangatlah besar guna memenuhi hak dasar anak seperti hidup, tumbuh kembang, partisipasi dan non-diskriminasi (sesuai dengan 4 prinsip dasar Hak Anak yang termaktub dalam KHA, Konvensi Hak Anak) didalam kehidupannya. Dalam dirinya juga melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, sehingga perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

KPAI (Komite Perlindungan Anak Indonesia) dengan mengutip data dari ILO, memperkirakan jumlah anak yang bekerja mencapai 2.685 juta anak, dan Para aktifis perlindungan anak juga memperkirakan jumlah anak yang dipekerjakan mencapai 60.000 hingga 120.000 orang. Dan Data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak itu sendiri, mencatat, bahwa sepanjang pada 2007 jumlah pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 40.398.625 kasus. Angka fantastis ini menunjukkan bahwa anak-anak yang bekerja dalam konteks membantu orang-tua, juga “dianggap” sebgai proses pembelajaran anak menjadi dewasa sebagai bekal kehidupan yang mandiri.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak merupakan peraturan khusus yang mengatur mengenai masalah anak. Tujuan dari perlindungan anak sendiri disebutkan dalam Pasal 3 UU No. 23/ 2003 : “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.”

Umumnya pada masyarakat yang tergolong dalam ekonomi lemah dan kurang berpendidikan, persoalan yang dihadapi anak adalah anak menjadi buruh anak atau anak bekerja layaknya orang dewasa untuk membantu perekonomian keluarga. Disebabkan kondisi tersebut anak-anak menjadi tereksploitasi untuk dapat menghasilkan sumber-sumber yang bisa menopang kondisi ekonomi keluarga yang corat marut. Komnas Anak mengatakan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaganya, terdapat 200 sampai 300 ribu Pekerja Seks Komersil (PSK) berusia dibawah 18 tahun. Tidak hanya memasok untuk dalam negeri saja, melainkan mereka (para aktor perdangangan anak) dapat memasok untuk kebutuhan Asia Tenggara. Dan Sekjen Komnas Anak mengatakan bahwa Indonesia merupakan pemasok perdagangan anak dan wanita (traficking) terbesar di Asia Tenggara.


PERBATASAN WILAYAH INDONESIA DENGAN NEGARA ASING

BATAS WILAYAH DARAT DAN LAUT INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai sekitar 81.900 kilometer, memiliki wilayah perbatasan dengan banyak negara baik perbatasan darat (kontinen) maupun laut (maritim). Batas darat wilayah Republik Indonesia berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste. Perbatasan darat Indonesia tersebar di tiga pulau, empat Provinsi dan 15 kabupaten/kota yang masing-masing memiliki karakteristik perbatasan yang berbeda-beda. Demikian pula negara tetangga yang berbatasannya baik bila ditinjau dari segi kondisi sosial, ekonomi, politik maupun budayanya. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini (PNG). Wilayah perbatasan laut pada umumnya berupa pulau-pulau terluar yang jumlahnya 92 pulau dan termasuk pulau-pulau kecil. Beberapa diantaranya masih perlu penataan dan pengelolaan yang lebih intensif karena mempunyai kecenderungan permasalahan dengan negara tetangga.

A. Batas laut Indonesia:
1.  Indonesia-Malaysia
Garis batas laut wilayah antara Indonesia dengan Malaysia adalah garis yang menghubungkan titik-titik koordinat yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama di Kuala Lumpur, pada 17 Maret 1977. Berdasarkan UU No 4 Prp tahun 1960, Indonesia telah menentukan titik dasar batas wilayah lautnya sejauh 12 mil. Sebagai implementasi dari UU tersebut, beberapa bagian perairan Indonesia yang jaraknya kurang dari 12 mil laut, menjadi laut wilayah Indonesia. Termasuk wilayah perairan yang ada di Selat Malaka. Pada Agustus 1969, Malaysia juga mengumumkan bahwa lebar laut wilayahnya menjadi 12 mil laut, diukur dari garis dasar yang ditetapkan menurut ketentuan-ketentuan konvensi Jenewa 1958 (mengenai Laut Wilayah dan Contigous Zone). Sehingga timbul persoalan, yaitu letak garis batas laut wilayah masing-masing negara di Selat Malaka (di bagian yang sempit) atau kurang dari 24 mil laut. Adapun batas Landas Kontinen antara Indonesia dan Malaysia ditentukan berdasarkan garis lurus yang ditarik dari titik bersama ke titik koordinat yang disepakati bersama pada 27 Oktober 1969. Atas pertimbangan tersebut, dilaksanakan perundingan (Februari-Maret 1970) yang menghasilkan perjanjian tentang penetapan garis Batas Laut Wilayah kedua negara di Selat Malaka. Penentuan titik koordinat tersebut ditetapkan berdasarkan Garis Pangkal masing-masing negara. Dengan diberlakukannya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, maka penentuan titik dasar dan garis pangkal dari tiap-tiap negara perlu diratifikasi berdasarkan aturan badan internasional yang baru. Selama ini penarikan batas Landas Kontinen Indonesia dengan Malaysia di Perairan Selat Malaka berpedoman pada Konvensi Hukum Laut 1958. MoU RI dengan Malaysia yang ditandatangani pada 27 Oktober 1969 yang menetapkan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai acuan titik dasar dalam penarikan Garis Pangkal jelas jelas merugikan pihak Indonesia, karena median line yang diambil dalam menentukan batas landas kontinen kedua negara tersebut cenderung mengarah ke perairan Indonesia. Tidak hanya itu, Indonesia juga belum ada kesepakatan dengan pihak Malaysia tentang ZEE-nya. Penentuan ZEE ini sangat penting dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan masing-masing negara. Akibat belum adanya kesepakatan ZEE antara Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka, sering terjadi penangkapan nelayan oleh kedua belah pihak. Hal ini disebabkan karena Malaysia menganggap batas Landas Kontinennya di Selat Malaka, sekaligus merupakan batas laut dengan Indonesia. Hal ini tidak benar, karena batas laut kedua negara harus ditentukan berdasarkan perjanjian bilateral. Berdasarkan kajian Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL, batas laut Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka seharusnya berada di median line antara garis pangkal kedua negara yang letaknya jauh di sebelah utara atau timur laut batas Landas Kontinen. Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82, sebagai coastal state, Malaysia tidak diperbolehkan menggunakan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai base line yang jarak antara kedua pulau tersebut lebih dari 100 mil laut. Jika ditinjau dari segi geografis, daerah yang memungkinkan rawan sengketa perbatasan dalam pengelolaan sumber-sumber perikanan adalah di bagian selatan Laut Andaman atau di bagian utara Selat Malaka.

2.  Indonesia-Singapura
Penentuan titik-titik koordinat pada Batas Laut Wilayah Indonesia dan Singapura didasarkan pada prinsip sama jarak (equidistance) antara dua pulau yang berdekatan. Pengesahan titik-titik koordinat tersebut didasarkan pada kesepakatan kedua pemerintah. Titik-titik koordinat itu terletak di Selat Singapura. Isi pokok perjanjiannya adalah garis Batas Laut Wilayah Indonesia dan laut wilayah Singapura di Selat Singapura yang sempit (lebar lautannya kurang dari 15 mil laut) adalah garis terdiri dari garis-garis lurus yang ditarik dari titik koordinat. Namun, di kedua sisi barat dan timur Batas Laut Wilayah Indonesia dan Singapura masih terdapat area yang belum mempunyai perjanjian perbatasan. Di mana wilayah itu merupakan wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Pada sisi barat di perairan sebelah utara pulau Karimun Besar terdapat wilayah berbatasan dengan Singapura yang jaraknya hanya 18 mil laut. Sementara di wilayah lainnya, di sisi timur perairan sebelah utara pulau Bintan terdapat wilayah yang sama yang jaraknya 28,8 mil laut. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas laut. Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas. Untuk itu batas wilayah perairan Indonesia – Singapura yang belum ditetapkan harus segera diselesaikan, karena bisa mengakibatkan masalah di masa mendatang. Singapura akan mengklaim batas lautnya berdasarkan Garis Pangkal terbaru, dengan alasan Garis Pangkal lama sudah tidak dapat diidentifikasi. Namun dengan melalui perundingan yang menguras energi kedua negara, akhirnya menyepakati perjanjian batas laut kedua negara yang mulai berlaku pada 30 Agustus 2010. Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Perundingan ini telah berlangsung sejak tahun 2005, dan kedua tim negosiasi telah berunding selama delapan kali. Dengan demikian permasalahan berbatasan laut Indonesia dan Singapura pada titik tersebut tidak lagi menjadi polemik yang bisa menimbulkan konflik, namun demikian masih ada beberapa titik perbatasan yang belum disepakati dan masih terbuka peluang terjadinya konflik kedua negara. Perbatasan Indonesia dan Singapura terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian tengah (disepakati tahun 1973), bagian Barat (Pulau Nipa dengan Tuas, disepakati tahun 2009) dan bagian timur (Timur 1, Batam dengan Changi (bandara) dan Timur 2 antara Bintan.

3.  Indonesia-Thailand
Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dan Thailand adalah garis lurus yang ditarik dari titik pertemuan ke arah Tenggara. Hal itu disepakati dalam perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan Thailand tentang penetapan Garis Batas Dasar Laut di Laut Andaman pada 11 Desember 1973. Titik koordinat  batas Landas Kontinen Indonesia-Thailand ditarik dari titik bersama yang ditetapkan sebelum berlakunya Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Karena itu, sudah selayaknya perjanjian penetapan titik-titik koordinat di atas ditinjau kembali. Apalagi Thailand telah mengumumkan Zona Ekonomi Eksklusif dengan Royal Proclamation pada 23 Februari 1981, yang isinya; “The exclusive Economy Zone of Kingdom of Thailand is an area beyond and adjacent to the territorial sea whose breadth extends to two hundred nautical miles measured from the baselines use for measuring the breadth of the Territorial Sea”. Pada prinsipnya Proklamasi ZEE tersebut tidak menyebutkan tentang penetapan batas antar negara.

4.  Indonesia-India
Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dan India adalah garis lurus yang ditarik dari titik pertemuan menuju arah barat daya yang berada di Laut Andaman. Hal itu berdasarkan persetujuan pada 14 Januari 1977 di New Delhi, tentang perjanjian garis batas Landas Kontinen kedua negara. Namun, pada beberapa wilayah batas laut kedua negara masih belum ada kesepakatan.

5.  Indonesia-Australia
Perjanjian Indonesia dengan Australia mengenai garis batas yang terletak antara perbatasan Indonesia- Papua New Guinea ditanda tangani di Jakarta, pada 12 Februari 1973. Kemudian disahkan dalam UU No 6 tahun 1973, tepatnya pada 8 Desember 1973). Adapun persetujuan antara Indonesia dengan Australia tentang penetapan batas-batas Dasar Laut, ditanda tangani paada 7 Nopember 1974. Pertama, isinya menetapkan lima daerah operasional nelayan tradisional Indonesia di zona perikanan Australia, yaituAshmore reef (Pulau Pasir); Cartier Reef (Pulau Ban); Scott Reef (Pulau Datu);Saringapatan Reef, dan Browse. Kedua, nelayan tradisional Indonesia di perkenankan mengambil air tawar di East Isletdan Middle Islet, bagian dari Pulau Pasir (Ashmore Reef). Ketiga, nelayan Indonesia dilarang melakukan penangkapan ikan dan merusak lingkungan di luar kelima pulau tersebut. Sementara persetujuan Indonesia dengan Australia, tentang pengaturan Administrative perbatasan antara Indonesia-Papua New Gunea; ditanda tangani di Port Moresby, pada 13 November 1973. Hal tersebut telah disahkan melalui Keppres No. 27 tahun 1974, dan mulai diberlakukan pada 29 April 1974. Atas perkembangan baru di atas, kedua negara sepakat untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan MOU 1974.

6.  Indonesia-Vietnam
Pada 12 November 1982, Republik Sosialis Vietnam mengeluarkan sebuah Statement yang disebut “Statement on the Territorial Sea Base Line”. Vietnam memuat sistem penarikan garis pangkal lurus yang radikal. Mereka ingin memasukkan pulau Phu Quoc masuk ke dalam wilayahnya yang berada kira-kira 80 mil laut dari garis batas darat antara Kamboja dan Vietnam. Sistem penarikan garis pangkal tersebut dilakukan menggunakan 9 turning point. Di mana dua garis itu panjangnya melebihi 80 mil pantai, sedangkan tiga garis lain panjangnya melebihi 50 mil laut. Sehingga, perairan yang dikelilinginya mencapai total luas 27.000 mil2. Sebelumnya, pada 1977 Vietnam menyatakan memiliki ZEE seluas 200 mil laut, diukur dari garis pangkal lurus yang digunakan untuk mengukur lebar Laut Wilayah. Hal ini tidak sejalan dengan Konvensi Hukum Laut 1982, karena Vietnam berusaha memasukkan pulau-pulau yang jaraknya sangat jauh dari titik pangkal. Kondisi tersebut menimbulkan tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di sebelah utara Pulau Natuna.

7.  Indonesia-Filipina
Berdasarkan dokumen perjanjian batas-batas maritim Indonesia dan Filipina sudah beberapa kali melakukan perundingan, khususnya mengenai garis batas maritim di laut Sulawesi dan sebelah selatan Mindanao (sejak 1973). Namun sampai sekarang belum ada kesepakatan karena salah satu pulau milik Indonesia (Pulau Miangas) yang terletak dekat Filipina, diklaim miliknya. Hal itu didasarkan atas ketentuan konstitusi Filipina yang masih mengacu pada treaty of paris 1898. Sementara Indonesia berpegang pada wawasan nusantara (the archipelagic principles) sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982).

8.  Indonesia-Republik Palau
Republik Palau berada di sebelah Timur Laut Indonesia. Secara geografis negara itu terletak di 060. 51” LU dan 1350.50” BT. Mereka adalah negara kepulauan dengan luas daratan  ± 500 km2. Berdasarkan konstitusi 1979, Republik Palau memiliki yuridiksi dan kedaulatan pada perairan pedalaman dan Laut Teritorial-nya hingga 200 mil laut. Diukur dari garis pangkal lurus kepulauan yang mengelilingi kepulauan. Palau memiliki Zona Perikanan yang diperluas (Extended Fishery Zone) hingga berbatasan dengan Zona Perikanan Eksklusif, yang lebarnya 200 mil laut diukur dari garis pangkal. Hal itu menyebabkan tumpang tindih antara ZEE Indonesia dengan Zona Perikanan yang diperluas Republik Palau. Sehingga, perlu dilakukan perundingan antara kedua negara agar terjadi kesepakatan mengenai garis batas ZEE.

9.  Indonesia-Timor Leste
Berdirinya negara Timor Leste sebagai negara merdeka, menyebabkan terbentuknya perbatasan baru antara Indonesia dengan negara tersebut. Perundingan penentuan batas darat dan laut antara RI dan Timor Leste telah dilakukan dan masih berlangsung sampai sekarang. First Meeting Joint Border Committee Indonesia-Timor Leste dilaksanakan pada 18-19 Desember 2002 di Jakarta. Pada tahap ini disepakati penentuan batas darat berupa deliniasi dan demarkasi, yang dilanjutkan dengan perundingan penentuan batas maritim. Kemudian perundingan Joint Border Committee kedua diselenggarakan di Dilli, pada Juli 2003.

B. Batas Darat Indonesia:
Perbatasan darat Indonesia dengan negara tetangga adalah bahwa proses penetapan batasnya (Delimitasi) telah diselesaikan di masa pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda menetapkan batas dengan Inggris untuk segmen batas darat di Kalimantan dan Papua. Sedangkan Hindia Belanda menetapkan batas darat dengan Portugis di Pulau Timor. Merujuk kepada ketentuan hukum internasional Uti Possidetis Juris (suatu negara mewarisi wilayah penjajahnya), maka Indonesia dengan negara tetangga hanya perlu menegaskan kembali atau merekonstruksi batas yang telah ditetapkan tersebut. Penegasan kembali atau demarkasi tidaklah semudah yang diperkirakan. Permasalahan yang sering terjadi di dalam proses demarkasi batas darat adalah munculnya perbedaan interpretasi terhadap treaty atau perjanjian yang telah disepakati Hindia Belanda. Selain itu, fitur-fitur alam yang sering digunakan di dalam menetapkan batas darat tentunya dapat berubah seiring dengan perjalanan waktu. Lebih lanjut lagi tidak menutup kemungkinan, sosial budaya dan adat daerah setempat juga telah berubah, mengingat rentang waktu yang panjang semenjak batas darat ditetapkan pihak kolonial dulu.

Perbatasan Wilayah Indonesia dengan Negara Tetangga
   Perbatasan Wilayah Indonesia dengan Negara Tetangga. Negara Indonesia memiliki prinsip semangat good neighboorhood policy yang artinya semangat kebijakan negara bertetangga yang baik dalam menyelesaikan masalah perbatasan wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa negara Indonesia mengedepankan  jalan damai misalnya dengan melakukan perundingan/negoisasi untuk mencapai kesepakatan bersama. Meskipun perjanjian tersebut sudah disepakati bersama, tetapi real-nya sering terjadi sengketa akibat pengakuan sepihak mengenai suatu kepentingan serta tidak displinnya suatu negara dalam menjalankan perjanjian.

1. Perjanjian Republik Indonesia-Malaysia mengenai perbatasan di Selat Malaka dan sengketa yang terjadi
Kesepakatan antara Indonesia dengan Malaysia mengenai Selat Malaka terdapat pada  “Perjanjian antara Republik Indonesia dan Malaysia tentang penetapan garis batas laut wilayah kedua negara di Selat Malaka”. Isi perjanjian tersebut sesuai  ketentuan pasal 1 ayat 2 Undang-undang No. 4 Prp. tahun 1960 yang menyatakan bahwa “Jika ada selat yang lebarnya tidak melebihi 24 mil laut dan negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi, maka garis batas laut wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.” Maka  sesuai kesepakatan bahwa, garis batas laut wilayah tersebut sesuai dengan garis batas landas kontinen antara kedua negara di Selat Malaka yang mulai berlaku pada bulan November 1969. Meskipun perjanjian bilateral mengenai perbatasan di Selat Malaka sudah disepakati, namun masih terjadi sengketa antara kedua negara. Menurut  Patroli Kementrian Kelautan Perikanan (KKP), mereka berhasil menangkap dua kapal Malaysia yang sedang menangkap ikan di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Selat Malaka. Hal ini tentu merupakan pelanggaran karena memasuki wilayah Indonesia serta mengambil sumber daya Indonesia secara ilegal. Namun ketika petugas Patroli Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu menangkap dua kapal Malaysia lalu di tengah perjalanan muncul tiga helikopter Patroli Malaysia yang mengahalangi penangkapan tersebut, padahal dua kapal tersebut memang melakukan kesalahan. Pada akhirnya helikopter Malaysia itupun berhenti menghalangi karena pertugas Patroli Kementrian Kelautan Perikanan (KKP) Indonesia tidak memerdulikan tiga helokopter tersebut. Kasus ini menunjukan tidak displinnya Malaysia dalam menaati perjanjian yang sudah disepakati dan diperparah lagi dengan pembelaan Patroli Malaysia padahal kapal tersebut jelas-jelas melanggar aturan. Indonesia dan Malaysia memang sudah menetapkan garis batas landas kontinen tahun 1969 sehingga sudah adanya kejelasan dalam pembagian dasar laut dan kekayaan alam misalnya kekayaan minyak, gas dll. Namun belum adanya kejelasan mengenai pembagian tubuh air dan kekayaannya seperti ikan. Ketidakjelasan tersebut mengakibatkan Indonesia dan Malaysia memiliki pengakuan masing-masing. Indonesia mengakui garis tengah antara Indonesia dan semenanjung Malaysia sebagai garis batas ZEE. Malaysia mengakui secara sepihak bahwa batas landas kontinen itu merupakan sekaligus garis batas ZEE, tentu Indonesia tidak setuju dengan pengakuan itu karena belum diadakan kesepakatan mengenai batas ZEE antar kedua negara. Contoh sengketa yang terjadi mengenai pengakuan atas Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) , sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tidak adanya kesepakatan sehingga pengakuan sepihak yang  yang diakui negara Indonesia belum tentu  diakui negara Malaysia dan sebaliknya karena standar untuk menentukan pengakuan tersebut berbeda. Pengakuan masing-masing negara yang belum disepakati ini juga mengakibatkan adanya kawasan wilayah yang diakui oleh kedua negara sehingga jika salah satu negara memasuki kawasan ini akan di anggap sebagai pelanggaran padahal belum adanya ketegasan yang memastikan hal itu pelanggaran atau tidak. Maka sebaiknya dilakukan perundingan atau negoisasi secara damai supaya tidak terjadi sengketa lebih lanjut.

2. Perjanjian Republik Indonesia-Malaysia mengenai perbatasan di Ambalat beserta sengketa yang terjadi
Ambalat merupakan blok laut seluas 15.235 km2 milik negara Indonesia, hal ini dapat dibuktikan pada Perjanjian yang di beri nama Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia-Malaysia pada tanggal 27 Oktober 1969, yang ditandatangani di Kuala Lumpur. Isi perjanjian tersebut yaitu penetapan 25 titik yang terdiri dari 10 titik koordinat di Selat Malaka dan 15 titik koordinat di perairan Laut China Selatan dan melakukan pengesahan pada 7 November 1969.
Sengketa Ambalat ini diakibatkan oleh negara Malaysia yang ingin merebut Ambalat karena keistimewaan Ambalat yang memiliki kakayaan laut dan bawah laut, khususnya untuk pertambangan minyak. Hal ini dapat dibuktikan ketika Malaysia membuat peta baru pada tahun 1969 yang memasukan pulau Sipadan dan Ligitan pada wilayah negaranya, tentu negara Indonesia tidak terima dengan pengakuan sepihak tanpa dasar aturan yang jelas. Pengajuan sepihak itu membuat Indonesia tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Lalu Indonesia menyelesaikan sengketa ini dengan penandatanganan kembali Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia.
Malaysia kembali membuat sengketa dengan Indonesia atas pembuatan peta baru pada tahun 1979 yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya. Indonesia kembali tidak mengakui peta baru Malaysia karena melanggar perjanjian yang telah disepakati. Ancaman perbatasan yang dilakukan Malaysia ini semakin diperparah ketika Mahkamah Internasional menyatakan pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di blok Ambalat dinyatakan bagian dari wilayah Malaysia. Usaha-usaha Malaysia ini harus kita antisipasi dengan memperkuat keamanan wilayah supaya tidak di rebut oleh negara Malaysia. Malaysia sering melanggar perjanjian yang telah disepakati, bahkan pihak Indonesia mengakui adanya 35 kali pelanggaran perbatasan yang dilakukan Malaysia.

3. Perjanjian Republik Indonesia-Papua New Guinea (PNG) mengenai perbatasan wilayah  beserta sengketa yang terjadi
Perjanjian yang disepakati yaitu pada tanggal 13 Desember 1980 di Jakarta, “Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Papua Nugini tentang Batas-batas Maritim antara Republik Indonesia dan Papua Nugini dan Kerjasama tentang Masalah-masalah yang bersangkutan” yang menghasilkan kesepakatan garis-garis lurus lateral yang menghubungkan enam titik batas di depan pantai selatan pulau Irian dan dua buah titik batas di depan pantai utara pulau Irian. Sengketa yang terjadi yaitu pihak Indonesia maupun PNG tidak menjalani perjanjian yang telah disepakati yaitu dalam proses pembuatan penegasan pembatasan wilayah dari perencanaan, pelaksanaan, dan penggambaran seharusnya dilakukan bersama-sama. Tetapi kenyataan di lapangan tidak sesuai perjanjian, kedua pihak melakukan proses pembuatan penegasan pembatasan masing-masing, meskipun hasil akhirnya tetap harus mendapat tanda tangan oleh kedua negara. Desa Wara Smoll, Kabupaten Bintang secara hukum merupakan wilayah NKRI namun ironisnya wilayah ini di tempati, diolah, dan dimanfaatkan oleh warga PNG. Hal ini merupakan ancaman yang harus segera diselesaikan oleh negara Indonesia karena kita tidak boleh membiarkan potensi alam kita dimanfaatkan oleh negara lain. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan masyaraka yang tinggal di perbatasan menyebabkan masyarakat cenderung mengutamakan hukum tradisional yang berlaku dibandingkan hukum pada negara masing-masing. Masih adanya keraguan mengenai perbatasan yang akurat sehingga mengakibatkan kesalahan misalnya salah menangkap nelayan asing yang sebenarnya berada di kawasan yang tepat menurut negara bersangkut, menimbulkan konflik mengenai pengakuan potensi minyak secara sepihak.
          
4. Perjanjian bilateral Republik Indonesia-Timor Leste mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang terjadi
Penerapan Provisional Agreement (PA) merupakan perjanjian yang telah disepakati oleh RI dan Timor Leste pada tahun 2005. Sengketa yang terjadi yaitu masih menyisanya 3% wilayah yang belum disepakati dalam penegasan batas wilayahnya. Negara Timor Leste ingin menyelesaikan sengketa ini dengan Treaty 1904, namun negara Indonesia menginginkan diselesaikan menggunakan Penerapan Provisional Agreement (PA), khususnya pasal 6 yang isinya antara lain agar dalam penegasan batas mempertimbangkan kondisi masyarakat setempat yang tinggal di sekitar perbatasan.umumnya masyarakat Timor Leste yang tinggal di perbatasan masih menggunakan mata uang rupiah, bahasa Indonesia, dan memiliki hubungan erat secara sosial dan budaya dengan masyarakat Indonesia yang khususnya tinggal di perbatasan. Hal ini harus diwaspadai karena ditakutkan terjadi pengakuan budaya Indonesia oleh negara Timor Leste Negara Indonesia juga harus secepatnya menyelesaikan sengketa mengenai keberadaan pengungsi Timor Leste yang masih tinggal di wilayah Indonesia karena ditakutkan akan terjadi sengketa yang rumit jika dibiarkan saja.

5. Perjanjian  Republik Indonesia-India mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang terjadi
Perjanjian ini ditandatangani di New Delhi pada tanggal 14 Januari 1977,  isi perjanjian ini yaitu Garis Batas Landas Kontinen Indonesia dan India adalah garis lurus yang ditarik dari titik pertemuan menuju arah barat daya yang berada di Laut Andaman. Namun yang menjadi sengketa yaitu belum dirundingkan garis batas ZEE antara negara Indonesia dan India sehingga belum adanya peraturan tegas mengenai batas-batas tersebut. Sengketa yang terjadi yaitu tidak displinnya para nelayan kedua negara ini sehingga  sering terjadi pelanggaran perbatasan dikedua wilayah negara tersebut.

6. Perjanjian Republik Indonesia-Thailand mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang terjadi
Isi Perjanjian Indonesia dengan Thailand tentang penetapan Garis Batas Dasar Laut di Laut Andaman pada 11 Desember 1973 yaitu adalah garis lurus yang ditarik dari titik pertemuan ke arah Tenggara yang disepakati.  Sengketa ini karena perundingan yang dilakukan belum menemukan kesepakatan sehingga tidak tegasnya perbatasan wilayah ZEE. Sengketa yang terjadi yaitu pelanggaran perbatasan yang dilakukan oleh nelayan Thailand, para nelayan tersebut menangkap ikan diperairan Indonesia sehingga merugikan negara Indonesia serta menganggu keamanan perairan Indonesia
                                  
7. Perjanjian Republik Indonesia-Singapura mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang terjadi
Perjanjian yang  disepakati di Jakarta pada tanggal 25 Mei 1973 menjelaskan bahwa “Berdasarkan prinsip sama jarak antara dua pulau yang berdekatan karena lebar laut antara kedua negara kurang dari 24 mil laut”.  Sengketa yang terjadi karena Singapura ingin perluasan wilayah perairan lautnya di sekitar Pedra Branca dengan melakukan pengakuan sepihak  zone ekonomi eksklusif (ZEE) Singapura ke arah timur sampai ke Laut Cina Selatan (batas maritim RI  dan Malaysia). Sengketa ini cukup rumit karena wilayah tersebut melibatkan Singapura, Indonesia, Malaysia maka dalam pengakuan sepihak oleh Singapura itu dibutuhkan perundingan dengan Malaysia agar Singapura tidak melanggar perjanjian yang telah disepakati. Sengketa mengenai penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulaun Riau yang dilakukan oleh Singapura harus ditangani serius oleh pemerintah Indonesia. Penambangan pasir tersebut mengakibatkan kerusakan parah pada ekosistem pesisir pantai sehingga banyak para nelayan kita yang kehilangan mata pencaharian. Lebih parahnya penambangan pasir laut yang dilakukan itu mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil di Indonesia karena telah ada kasus tenggelamnya pulau Nipah. Jika hal ini dibiarkan saja maka diatakutkan terjadi perubahan batas laut dengan Singapura karena perubahan geografis di Indonesia.

8. Perjanjian Republik Indonesia-Vietnam mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang terjadi
Perjanjian penentuan garis batas landas kontinen antara Indonesia dengan Vietnam yang terletak di Laut Cina Selatan, perjanjian telah disepakati pada tanggal 26 Juni 2003 di Hanoi Vietnam. Isi perjanjian tersebut yaitu landas kontinen RI-Vietnam terdiri atas enam pasal yang antara lain mengatur titik koordinat dan garis yang menghubungkan, perlunya kerja sama dalam bentuk koordinasi kebijakan terkait, dan cara penyelesaian damai jika terjadi perselisihan akibat
salah penafsiran.
Perjanjian batas landas kontinen antara Indonesia dan Vietnam merupakan hasil perundingan selama 26 tahun, hal ini diakibatkan karena persengketaan di wilayah perbatasan yang diperikirakan banyak mengandung minyak dan mineral yang besar. Sengketa terjadi di wilayah perbatasan antara Pulau Sekatung di Kepulauan Natuna dan Pulau Condore di Vietnam, hal ini diakibatkan karena perbedaan pemahaman mengenai kontinen tanpa batas benua di perbatasan tersebut. Pada 12 November 1982, Vietnam secara sepihak ingin memasukan Quoc masuk ke dalam wilayahnya tentu hal itu melanggar perjanjian yang telah disepakati. Namun Yang menjadi persoalan yaitu garis batas ZEE yang belum menemui kesepakatan dari kedua negara ini sehingga terjadi persengketaan ketika Vietnam secara sepihak mengakui ZEE seluas 200 mil laut, dan ingin mengambil pulau-pulau yang jaraknya sangat jauh dari titik pangkal yang mengakibatkan perbatasan ZEE Indonesia di sebelah utara Pulau Natuna terancam keutuhannya.

9. Perjanjian Republik Indonesia-Philipina mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang terjadi
Di mulai dari tahun 1973, kedua negara sudah beberapa kali melakukan perundingan mengenai batas laut di perairan utara dan selatan Pulau Miangas, namun belum menemui kesepakatan secara bilateral. Akhirnya, kesepakatan secara bilateral ini mulai diusahakan dengan diadakannya forum RI-Philipina yaitu Joint Border Committee (JBC) dan Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) yang diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam masalah perbatasan kedua negara tersebut.
Belum adanya perjanjian bilateral mengakibatkan sengketa yaitu mengenai keberadaan P. Miangas yang menurut ”Treaty Of Paris 1898” wilayah tersebut milik negara Philipina, sedangkan menurut ”Wawasan Nusantara” dan ”UNCLOS’82” wilayah tersebut milik negara Indonesia. Setelah dilakukan perundingan akhirnya negara Philipina mengakui P.Miangas sebagai milik Indonesia. Persoalan belum selesai karena klaim laut disekeliling wilayah tersebut masih perlu dilakukan perundingan untuk mendapatkan kesepakatan dan pengakuan bersama.

10. Perjanjian Republik Indonesia-Australia mengenai perbatasan wilayah beserta sengketa yang terjadi
Papua New Guinea merupakan daerah kekuasaan Australia sehingga untuk menentukan batas wilayah RI-Papua New Guinea perlunya dibentuk perjanjian RI-Australia. perjanjian ini mengenai kesepakatan “Dasar Laut Tertentu” tanggal 18 Mei 1971 di Camberra, yang mencapai kesepakatan tentang titik-titik perbatasan kedua negara, lalu diadakan kembali perundingan di Canberra dari tanggal 22-26 Januari 19973 untuk menyelesaikan masalah yang belum terselesaikan sebelumnya. Isi perjanjian tesebut yaitu penyelesaian-penyelesaan atas masalah-masalah penetapan garis batas darat di sebelah utara dan selatan Sungai Fly, penetapan garis batas laut wilayah serta garis batas dasar laut di Selatan Irian.
Kerumitan perjanjian Indonesia-Australia pada saat penetapan garis batas darat di belokan Sungai Fly. Sengketa terjadi ketika secara sepihak Australia meyatakan bukti-bukti nyata mengenai keberatannya atas pemakaian prinsip koordinat-koordinat dalam menetapkan perbatasan sehingga Indonesia menyetujui usul Autralia mnggunakan prinsip alur pelayaran Sungai Flu.
Perbatasan laut antara kedua negara sangat luas yaitu krang lebig 2.100 mil laut dari selat Torres sampai P.Chrismas. perjanjian perbatasan kedua negara cukup menarik karena telah disepakati sebelum berlakunya UNCLOS ’82 maupun sesudahnya. Sengketa yang terjadi ketika negara Timor Leste telah merdeka sehingga perjanjian sebelumnya harus ada yang di ubah yaitu perjanjian Timor Gap Treaty harus dibatalkan dan perlunya perundingan secara antara RI-Timor Leste-Australia. Namun persoalan semakin rumit karena perbedaan pendapat dan kepentingan antara Indonesia, Australia dan Timor Leste di perairan Celah Timor, sehingga kesepakatan sulit terjalin.

Sengketa Republik Indonesia-Republik Palau mengenai perbatasan wilayah
Palau adalah negara kepulauan yang berada di sebelah timur laut NKRI, namun belum diadakannya perjanjian secara bilateral mengenai perbatasan laut antara kedua negara tersebut. Sengketa yang terjadi karena penarikan zona perikanan yang dilakukan oleh Palau akan merugikan negara Indonesia karena mengambil bagian ZEE Indonesia. Belum adanya kesepakatan mengenai batas perairan ZEE kedua negara mengakibatkan kebingungan tentang pelanggaran hukum yang dilakukan oleh nelayan kedua negara karena belum adanya kesepakatan untuk mengatur peraturan yang jelas. Kedua negara memilki ambisi untuk mengambil keuntungan di perbatasan wilayah ini karena terdapat banyak peninggalan benda-benda sejarah sebagai asset penting.

1. Peran Perjanjian Bilateral-Multilateral Terhadap Status Indonesia Sebagai Negara Kepulauan
Sebagai Negara Kepulauan, Indonesia dapat menentukan lokasi-lokasi alur laut kepulauannya, mengganti alur laut kepulauan, rute lintas penerbangan udara, skema pemisah lalu lintas penangguhan dan pelanggaran lintas damai untuk keperluan keamanan, dan pelayaran internasional. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa Indonesia dengan konsepsi Negara Kepulauannya tidak akan bisa bertahan jika tidak terus diperjuangkan, Maka upaya yang dapat dilakukan untuk itu selain melalui Undang-Undang, cara lain yang juga efektif adalah dengan mengadakan perjanjian internasional berdasarkan ketentuan hukum Internasional. Perjanjian internasional merupakan kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional ( Negara, tahta suci, kelompok pembebasan, organisasi internasional ) mengenai suatu obyek tertentu yang dirumuskan secara tertulis dan tunduk pada atau yang diatur oleh hukum internasional ( Parthiana, 2002: 13 ).
Perjanjian bilateral adalah suatu perjanjian internasional yang pihak-pihak atau Negara peserta yang terikat dalam perjanjian tersebut ialah hanya dua pihak atau dua Negara saja, sedangkan Perjanjian multilateral adalah suatu perjanjian internasional yang pihak-pihak atau Negara-negara yang menjadi peserta pada perjanjian itu lebih dari dua Negara. Indonesia dengan konsepsi Negara Kepulauannya memiliki wilayah darat yang luas terbukti dengan banyaknya hamparan pulau-pulau di Indonesia, dan wilayah laut yang juga luas yang menciptakan adanya kedaulatan yang dimiliki oleh Indonesia dalam melaksanakan yurisdiksi eksekutif di wilayahnya atas dasar Hukum Internasional. Ketika kita berbicara mengenai konsepsi Negara kepulauan, Maka lebih banyak pembahasan yang kita temui adalah hal-hal yang terkait dengan perbatasan wilayah Indonesia dengan Negara-negara lain khususnya Negara-negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia, dan biasanya bagian wilayah yang lebih banyak berbatasan dengan Negara lain tersebut adalah daerah atau wilayah laut. Kedaulatan Negara atas wilayah laut merupakan suatu pembahasan yang sangat penting dewasa ini, ditandai dengan sangat pesatnya perkembangan hukum laut internasional dewasa ini, khususnya setelah disahkannya Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Oleh karena itulah, Indonesia sebagai Negara yang berdaulat berhak dan perlu untuk mengadakan pengaturan-pengaturan atas wilayah-wilayah yang menjadi kedaulatannya, seperti mengatur wilayah laut teritorial sendiri, perairan pedalaman Indonesia, landas kontinen, zona ekonomi ekslusif , dan lainnya ( Adolf, 1991 ).
Peran perjanjian bilateral-multilateral terhadap status Indonesia sebagai Negara Kepulauan secara umum yang terlihat jelas dan terasa bagi bangsa Indonesia adalah akan lebih memperkuat atau memperkokoh konsepsi atau prinsip bahwa Indonesia memang merupakan Negara Kepulauan, sehingga diakuinya konsep negara kepulauan Indonesia oleh bangsa-bangsa lain di dunia dan dapat mencegah terjadinya konflik dengan Negara lain yang dapat memecah kesatuan Negara Republik Indonesia, terlebih lagi dalam hal kesatuan wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia. Namun, di samping itu kita juga perlu mengetahui dan mempelajari seberapa penting atau bermanfaat atau seberapa berperankah perjanjian bilateral-multilateral terhadap konsepsi Indonesia sebagai Negara Kepulauan. Beberapa yang dapat Penulis kemukakan diantaranya adalah :
a).   Atas dasar pengakuan prinsip Negara Kepulauan dan didukung dengan berbagai perjanjian bilateral-multilateral yang dijalin Indonesia dengan Negara lain membuat luas wilayah Indonesia berkembang menjadi 8.400.000 km.
b).  Dengan dilakukannya perjanjian bilateral-multilateral antara Indonesia dengan Negara-negara yang berbatas langsung dengan Indonesia, Maka masing-masing Negara dapat menyepakati dan memperjelas mengenai perbatasan daerah/wilayah satu Negara dengan Negara lainnya.
c). Semakin banyak perjanjian yang dilakukan maka akan semakin memperkokoh kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, satu pulau dengan pulau lainnya semakin menjadi satu kesatuan yang kuat dan kompak tanpa adanya campur tangan dari Negara lainnya serta tidak adanya penggunaan wilayah laut yang suatu negara yang digunakan sewenang-wenangnya oleh negara lain.
d).  Akan semakin mengukuhkan lagi kedudukan hukum dari pada wawasan nusantara Indonesia yang dilandasi konsepsi negara kepulauan.
e). Memantapkan pengakuan pihak ketiga terhadap wawasan nusantara dan kekuasaan yurisdiksi Indonesia atas wilayah-wilayahnya.
f).  Dengan diadakannya perjanjian bilateral-multilateral, suatu negara yang berdaulat dapat mengatur tata tertib di wilayah kekuasaannya, seperti wilayah perairan pedalaman, laut teritorian, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan hal terkait lainnya.
g). Dapat menyelesaikan segala persoalan garis batas Kontinen dengan negara-negara tetangga, sebagaimana yang tercantum dalam pengumuman pemerintah tentang landas kontinen Indonesia pada tanggal 17 Februari 1969.
h).  Indonesia sebagai Negara Kepulauan membuat perairan yang dahulunya merupakan bagian dari laut lepas, kini menjadi perairan kepulauan atau berada atas wilayah kedaulatan Indonesia. Sehingga jika dalam perkembangannya dilakukan perjanjian bilateral-multilateral maka akan semakin mmemperjelas status hukum atas kepemilikan wilayah laut yang tadinya laut lepas menjadi perairan kepulauan berada atas kekuasaan penuh Indonesia.
i).  Dengan dilakukannya perjanjian bilateral-multilateral untuk menciptakan kepastian hukum oleh Indonesia yang dalam hal ini dilakukan oleh pejabat terkait, Maka akan bermanfaat bagi generasi Indonesia berikutnya, yaitu dapat terhindar dari terjadinya konflik dengan Negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Indonesia, karena sebelumnya sudah ada penetapan atas dasar hukum internasional yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin negara sebelumnya.

2. Bentuk Contoh Perjanjian Bilateral-Multilateral Yang Dilakukan Indonesia Dengan Negara Lain Untuk Memperkuat Status Indonesia Sebagai Negara Kepulauan.
Berdasarkan azas umum dalam Hukum Internasional setiap Negara memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan atas orang dan benda yang ada dalam wilayahnya sendiri. Supaya adanya saling menghargai kedaulatan masing-masing Negara, Maka oleh karena itulah diperlukannya kerjasama di berbagai bidang, khususnya di bidang menyangkut wilayah perbatasan suatu Negara dengan Negara lain. Hal ini dapat diwujudkan dalam bentuk perjanjian internasional. Pada perjanjian internasional, jika ditinjau dari segi jumlah Negara-negara yang menjadi pihak atau pesertanya maka dikenal dengan adanya perjanjian bilateral maupun perjanjian multilateral, dan dua bentuk perjanjian inilah yang menjadi salah satu hal yang dapat memperkokoh konsepsi Negara Kepulauan dari suatu Negara, salah satunya adalah Negara Republik Indonesia. Adapun beberapa contoh perjanjian yang sudah pernah ditandatangani oleh Indonesia untuk memperkuat status Indonesia sebagai Negara Kepulauan adalah :
a).  Perjanjian antara Indonesia dengan Malaysia tentang Garis Batas Landas Kontinen di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang ditandatangani di Kuala Lumpur pada tanggal 27 Oktober 1969.
b).  Perjanjian antara Indonesia dengan Malaysia tentang Garis Batas Laut Teritorial di Selat Malaka yang ditandatangani di Kualalumpur pada tanggal 17 Maret 1970.
c).  Perjanjian anatar Indonesia dengan Thailand tentang Garis Batas Landas Kontinen di Selat Malaka Utara dan Laut Andaman yang ditandatangani di Bangkok pada tanggal 17 Desember 1971.
d).  Perjanjian antara Indonesia dengan Australia tentang Garis Batas Dasar Laut Arafura dan Laut Bagian Utara Irian Jaya yang ditandatangani di Canberra pada tanggal 18 Mei 1971
e).   Perjanjian antara Indonesia dengan Australia mengenai Garis Batas Laut Teritorial antara Indonesia-Papua Nugini di Bagian Selatan Irian Jaya yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 12 Februari 1973.
f).   Perjanjian antara Indonesia dengan Singapura tentang Garis Batas Laut Teritorial di Selat Singapura yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 25 Mei 1973.
g).  Perjanjian antara Indonesia dengan India tentang Garis Batas Landas Kontinen di New Delhi pada tanggal 15 Januari 1977.
h).  Perjanjian antara Indonesia dan Australia tentang Batas tertentu Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif pada tahun 1997.
i).   Perjanjian antara Indonesia dengan Malaysia dan Thailand tentang Garis Batas Landas Kontinen di Selat Malaka Utara yang ditandatangani di Kualalumpur pada tanggal 21 Desember 1971.



http://indomaritimeinstitute.org/?p=1341
                     
http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/105-september-2010/925-wilayah-perbatasan-yang-belum-memiliki-ketetapan.html

http://www.dephan.go.id/buku_putih/bab_iii.htm

http://id.wikipedia.org/wiki/Ambalat

http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/105-september-2010/932-batas-laut-zee-di-perairan-selat-malaka.html



Monday 5 May 2014

sejarah indonesia

A. Sejarah Perjuangan Bangsa

Perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang dimulai sejak era sebelum dan selama penjajahan dilanjutkan dengan era merebut dan mempertahankan kemerdekaan sampai dengan era mengisi kemerdekaan, menimbulkan kondisi dan tuntutan yang berbeda sesuai dengan zamannya. Kondisi dan tuntutan yang berbeda tersebut ditanggapi oleh bangsa Indonesia berdasarkan kesamaan nilai-nilai semangat kebangsaan kejuangan yang senantiasa tumbuh dan berkembang yang dilandasi oleh jiwa, tekad dan semangat kebangsaan. Kesemuanya itu tumbuh menjadi kekuatan yang mampu mendorong proses terwujudnya NKRi dalam wadah Nusantara.

B. Era Sebelum Penjajahan
Sejak tahun 400 Masehi sampai dengan tahun 1617, kerajaan-kerajaan yang ada di Bumi Persada Nusantara adalah kerajaan Kutai, Tarumanegara, Sriwijaya, Kediri, Singasari, Majapahit, Samudera Pasai, Aceh, Demak, Mataram, Goa dan lain-Iainnya, merupakan kerajaan-kerajaan yang terbesar di seluruh Bumi Persada Nusantara. Nilai yang terkandung pada era sebelum penjajahan adalah rakyat yang patuh dan setia kepada rajanya membendung penjajah dan menjunjung tinggi kehormatan dan kedaulatan sebagai bangsa monarchi yang merdeka di bumi Nusantara.


C. Era Selama Penjajahan
Bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa asing mulai tahun 1511 sampai dengan 1945 yaitu bangsa Portugis, Belanda, inggris dan Jepang. Selama penjajahan peristiwa yang menonjol adalah tahun 1908 yang dikenal sebagai Gerakan Kebangkitan Nasional Pertama, yaitu lahirnya organisasi pergerakan Budi Utomo yang dipelopori oleh Dr. Sutomo Dan Dr. Wahidin Sudirohusodo, Dan 20 tahun kemudian pada tanggal 28 Oktober 1928 ditandai dengan lahirnya Sumpah Pemuda sebagai titik awal dari kesadaran masyarakat untuk berbangsa Indonesia, dimana putra putri bangsa Indonesia berikrar : “BERBANGSA SATU, BERTANAH AIR SATU, DAN BERBAHASA SATU : INDONESIA”. Pernyataan ikrar ini mempunyai nilai tujuan yang sangat strategis di masa depan yaitu persatuan dan kesatuan Indonesia. Niiai yang terkandung selama penjajahan adalah Harga diri, solidaritas, persatuan dan kesatuan, serta jati diri bangsa.

D. Era Merebut dan Mempertahankan Kemerdekaan
Mulai dari tahun 1942 sampai dengan tahun 1949; dimana pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang me!alui Perjanjian Kalijati. Selama penjajahan Jepang pemuda-pemudi Indonesia dilatih dalam olah kemiliteran dengan tujuan untuk membantu Jepang memenangkan Perang Asia Timur Raya. Pelatihan tersebut melalui Seinendan, Heiho, Peta dan lain-lain, sehingga pemuda Indonesia sudah memiliki bekal kemiliteran. Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu disebabkan dibom atomnya kota Hirosima dan Nagasaki. Kekalahan Jepang kepada Sekutu dan kekosongan kekuasaan yang terjadi di Indonesia digunakan dengan sebaik-baiknya oleh para pemuda Indonesia untuk merebut kemerdekaan. Dengan semangat juang yang tidak kenal menyerah yang dilandasi iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta keikhlasan berkorban telah terpatri dalam jiwa para pemuda dan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaannya, yang kemudian diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta. Setelah merdeka bangsa Indonesia harus menghadapi Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia dengan melancarkan aksi militernya pada tahun 1948 (Aksi Militer Belanda Pertama) dan tahun 1948 (Aksi Militer Belanda Kedua), dan pemberontakan PKI Madiun yang didalangi oleh Muso dan Amir Syarifuddin pada tahun 1948. Era merebut dan mempertahankan kemerdekaan mengandung nilai juang yang paling kaya dan lengkap sebagai titik kulminasinya adalah pada perang Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Nilai-nilai kejuangan yang terkandung dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan ‘adalah sebagai berikut :

1. Nilai kejuangan relegius (iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa).
2. Nilai kejuangan rela dan ikhlas berkorban.
3. Nilai kejuangan tidak mengenal menyerah.
4. Nilai kejuangan harga diri.
5. Nilai kejuangan percaya diri.
6. Nilai kejuangan pantang mundur.
7. Nilai kejuangan patriotisme.
8. Nilai kejuangan heroisme.
9. Nilai kejuangan rasa senasib dan sepenanggungan.
10. Nilai kejuangan rasa setia kawan.
11. Nilai ke juangan nasionalisme dan cinta tahah air
12. Nilai kejuangan persatuan dan kesatuan

Sistem Pemilu Dan Prosedur Pemilu Di Indonesia

Sistem Pemilihan Umum

Oleh: Ramlan Surbakti

Tulisan berikut ini akan difokuskan pada dua hal, yaitu empat unsur mutlak dan dua unsur pilihan sistem pemilihan umum, dan tiga model sistem pemilihan umum; dan sistem pemilihan umum yang digunakan untuk memilih anggota DPR dan DPRD dan sistem pemilihan umum yang diterapkan untuk memilih anggota DPD berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

Secara normatif (berdasarkan undang-undang di Indonesia), Pemilihan Umum dirumuskan sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang  dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam  Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012). Rumusan normatif ini belum menggambarkan secara jelas ‘sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat’ untuk memilih siapa, tetapi sudah menyebutkan asas-asas yang menuntu pemilihan umum tersebut. Karena itu perlu merujuk rumusan lain tentang apa itu pemilihan umum. Pertama, pemilihan umum dirumuskan sebagai prosedur dan mekanisme konversi suara pemilih menjadi kursi penyelenggara negara lembaga legislatif atau eksekutif baik Pusat maupun daerah. Definisi ini sudah jelas menggambarkan tidak saja penyelenggara Negara lembaga  apa saja yang dipilih melalui pemilihan umum tetapi juga sudah menunjukkan bahwa pemilihan umum merupakan prosedur dan mekanisme teknis untuk mengkonversi suara pemilih menjadi kursi penyelenggara Negara. Akan tetapi definisi ini belum menunjukkan prosedur dan mekanisme konversi tersebut dan belum menunjukkan asas-asas yang harus menuntun prosedur dan mekanisme tersebut. Karena itu definisi tadi masih harus dilengkapi berupa asas-asas pemilihan umum demokratik, dan tiga perangkat konversi tadi, yaitu sistem pemilihan umum, proses penyelenggaraan tahapan Pemilu, dan logistik Pemilu.

Kedua, pemilihan umum merupakan mekanisme pendelegasian sebagian kedaulatan dari rakyat kepada Peserta   Pemilu dan/atau calon anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden/Wakil Presiden, dan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah untuk membuat dan  melaksanakan keputusan politik sesuai dengan kehendak rakyat. Seperti definisi normatif di atas, definisi ini sudah menunjukkan mengapa harus diselenggarakan pemilihan umum dan mengapa rakyat yang harus memilih penyelenggara Negara, siapa saja penyelenggara Negara yang dipilih, dan untuk apa penyelenggara negara dipilih. Akan tetapi definisi ini belum menyinggung bagaimana memilih penyelenggara Negara dan apa asas yang menuntut pemilihan umum tersebut. Dan ketiga, pemilihan umum merupakan mekanisme pemindahan berbagai macam perbedaan dan pertentangan kepentingan dari masyarakat kedalam lembaga legislatif dan eksekutif  untuk dibahas dan diputuskan secara terbuka dan beradab.

Selain dari segi arti Pemilu, juga diperlukan ulasan tentang fungsi pemilihan umum. Pertama, pemilihan umum berfungsi sebagai mekanisme perubahan politik mengenai pola dan arah kebijakan publik,  dan/atau mengenai sirkulasi elit, secara periodik dan tertib. Kedua, pemilihan umum berfungsi sebagai sarana integrasi nasional. Dan ketiga, pemilihan umum (khususnya sistem pemilihan umum) juga berfungsi sebagai instrument demokratisasi sistem politik, yang secara teknis dikenal sebagai perekayasaan sistem pemilihan umum untuk membangun tata politik demokrasi (electoral engineering for democratic political system).

Dalam artian pertama di atas, sistem pemilihan umum merupakan mekanisme yang diadopsi untuk mengubah suara rakyat menjadi kursi penyelenggara Negara (conversion of votes into governmental seats or positions). Untuk mengkonversi suara rakyat menjadi kursi penyelenggara Negara diperlukan dua perangkat lunak, yaitu  sistem pemilihan umum, dan proses penyelenggaraan tahapan Pemilu (electoral processes), dan satu perangkat keras, yaitu logistik Pemilu. Setiap sistem pemilihan umum mengandung empat unsur mutlak, yaitu: (1) besaran daerah pemilihan (district magnitude), (2) peserta dan pola pencalonan (nomination), (3) model penyuaraan (balloting), dan (4) formula pemilihan dan/atau penetapan calon terpilih (electoral formulae), dan dua unsur pilihan, yaitu ambang-batas masuk DPR/D (electoral threshold), dan pola kalender penyelenggaraan berbagai jenis Pemilu. Dalam setiap unsur terdapat berbagai pilihan model, prosedur dan mekanisme, dan gabungan pilihan dari setiap unsur itulah yang kemudian membentuk suatu sistem pemilihan umum. Sistem pemilihan umum macam apakah yang diadopsi oleh suatu Negara tergantung pada tatanan politik demokrasi yang hendak diwujudkan. Secara umum dikenal tiga model sistem pemilihan umum, yaitu (a) sistem pemilihan umum mayoritas-pluralitas yang di Indonesia lebih dikenal dengan sistem distrik (suatu ungkapan yang agak aneh bagi Ilmu Politik karena setiap sistem pemilihan umum memiliki daerah pemilihan alias distrik), (b) sistem pemilihan umum perwakilan berimbang (proportional representation) yang di Indonesia dikenal dengan sistem proporsional, dan (c) berbagai varian sistem pemilihan campuran (mix electoral systems), antara lain Mix Members Parliament, MMP).

Nama yang diberikan kepada sistem pemilihan umum sangat beragam, seperti sistem proporsional, sistem mayoritas-pluralitas, First Pass The Post (FPTP), satu kursi setiap daerah pemilihan (single-member constituency), banyak kursi setiap daerah pemilihan (multi-member constituency), sistem daftar terbuka (closed list system), sistem daftar tertutup (open list system), dan sistem preferensi (alternative votes). Keragaman ini terjadi karena masing-masing pihak menamai sistem pemilihan umum dari salah satu unsur sistem pemilihan umum. Mereka yang melihat sistem pemilihan umum dari dimensi lingkup dan besaran daerah pemilihan menamai sistem pemilihan umum itu sebagai single-member constituency atau multi-members constituency. Bila  sistem pemilihan umum dilihat dari dimensi pencalonan, maka sistem pemilihan umum akan dinamai sistem daftar terbuka  atau sistem daftar tertutup. Sistem pemilihan umum preferensi (baik total maupun parsial) alias alternative votes, sebagaimana diterapkan di Australia, merupakan nama sistem pemilihan umum yang dilihat dari dimensi model pemberian suara. Tetapi bila sistem pemilihan umum dilihat dari dimensi formula menentukan calon terpilih, maka nama yang diberikan terhadap sistem pemilihan umum adalah sistem proporsional atau sistem mayoritas/pluralitas. Dari sekian banyak nama yang diberikan terhadap sistem pemilihan tidak ada yang mampu mencakup keempat unsur sistem pemilihan umum tersebut.

SISTEM PEMILIHAN UMUM

Sebelum membahas pilihan model, pola, prosedur dan mekanisme dari setiap unsur sistem pemilihan umum yang diadopsi dalam UU Nomor 8 Tahun 2012, terlebih dahulu akan dijelaskan keempat unsur mutlak yang membentuk setiap sistem pemilihan umum. Selain keempat unsur ini terdapat dua unsur yang tidak bersifat mutlak alias pilihan, yaitu ambang-batas untuk dapat memasuki lembaga perwakilan (electoral threshold), dan kalender waktu penyelenggaraan berbagai jenis Pemilu. Kedua unsur ini disebut tidak mutlak karena tanpa salah satu dari kedua unsur ini keempat unsur sistem pemilihan umum tersebut masih mampu mengkonversi suara pemilih menjadi kursi penyelenggara negara. Disebut pilihan karena penggunaannya tergantung pada tujuan yang hendak dicapai.
        
Lingkup dan Besaran Daerah Pemilihan

Penentuan lingkup dan besaran Daerah Pemilihan antara lain dipengaruhi oleh sistem perwakilan politik yang diadopsi oleh suatu negara. Sistem perwakilan politik menggambarkan jenis aspirasi apa saja yang perlu diwakili oleh lembaga legislatif tersendiri. Sistem perwakilan politik unikameral hanya memiliki satu lembaga legislatif untuk mewakili aspirasi orang/penduduk/rakyat, sedangkan sistem perwakilan politik bikameral memiliki dua lembaga legislatif, yang satu mewakili aspirasi orang/penduduk/rakyat dan yang satu lagi mewakili aspirasi ruang/wilayah/provinsi atau negara Bagian. Aspirasi rakyat diwadahi dalam Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan aspirasi wilayah diwadahi Senat atau Dewan Perwakilan Daerah. Uraian tentang bagaimana menentukan jumlah anggota kedua lembaga ini, dan apa prinsip yang mendasari dan bagaimana mengalokasikan kursi kedua lembaga ini ke daerah pemilihan, dapat dibaca pada artikelSistem Perwakilan Politik: Kesetaraan Pemilih dan Kesetaraan Daerah  yang saya tulis.
Dimensi pertama menyangkut lingkup dan besaran daerah pemilihan
(district magnitude) untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD, dan untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Yang dimaksud dengan daerah pemilihan ialah batas wilayah administrasi dan/atau jumlah penduduk tempat peserta Pemilu dan/atau calon bersaing memperebutkan suara pemilih, dan karena itu juga menjadi dasar penentuan perolehan kursi bagi peserta dan/atau  calon terpilih. Lingkup daerah pemilihan dapat ditentukan berdasarkan (a) wilayah administrasi pemerintahan (nasional, provinsi atau kabupaten/kota), (b) jumlah penduduk, atau, (c) kombinasi faktor wilayah dengan jumlah penduduk. Besaran daerah pemilihan merujuk pada jumlah kursi untuk setiap daerah pemilihan, yaitu apakah satu kursi untuk setiap daerah pemilihan (single-member constituency) ataukah banyak kursi untuk setiap daerah pemilihan (multi-member constituencies). Multi-members Constituency masih dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu small (3-5), medium (6-9), dan large (>10) constituencies.
Karena Perubahan Ketiga UUD 1945 mengadopsi sistem perwakilan rakyat berupa “hampir bikameral” (bukan soft bicameral dan bukan pula strong bicameral), yaitu keberadaan DPR sebagai lembaga perwakilan yang mewakili penduduk (orang) sedangkan DPD mewadahi keterwakilan daerah (ruang) tetapi dengan kewenangan yang terbatas, maka yang perlu dicermati dalam UU Pemilu  ialah apakah daerah pemilihan anggota DPR didasarkan sepenuhnya pada jumlah penduduk ataukah berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan? Kalau sepenuhnya berdasarkan jumlah penduduk, maka jumlah kursi DPR tidak boleh tetap melainkan dapat berubah sekali dalam 10 tahun sesuai dengan hasil sensus penduduk, dan alokasi kursi DPR kepada setiap provinsi juga sepenuhnya berdasarkan jumlah penduduk, sehingga tidak saja ‘prinsip satu orang, satu suara dan satu nilai’ (OPOVOV) akan dapat diwujudkan tetapi juga jumlah kursi DPR di pulau Jawa akan lebih banyak daripada jumlah kursi DPR untuk luar pulau Jawa karena lebih banyak penduduk Indonesia timggal di Pulau Jawa daripada Luar Pulau Jawa. Kalau DPD tidak memiliki kewenangan yang setara dengan DPR, maka alokasi kursi DPR untuk setiap provinsi kemungkinan besar tidak ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk saja tetapi juga berdasarkan pertimbangan wilayah/daerah.
Lingkup dan besaran daerah pemilihan anggota DPR menurut UU No. 8
Tahun 2012 dapat digambarkan sebagai berikut. Pertama, daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi atau bagian-bagian dari provinsi. Kedua, jumlah anggota DPR ditetapkan sebanyak 560 orang. Ketiga, jumlah kursi DPR untuk setiap provinsi ditetapkan sebagai Lampiran Undang-Undang yang pada dasarnya sama dengan alokasi kursi DPR pada Pemilu 2009, dan alokasi kursi DPR untuk Pemilu 2009 adalah perbaikan atas alokasi DPR pada Pemilu 2004 karena adanya penambangan 10 kursi DPR. Dan keempat, setiap daerah pemilihan mendapat alokasi kursi antara tiga sampai 10 kursi. Akan tetapi UU sama sekali tidak menentukan persyaratan lain untuk membentuk suatu daerah pemilihan selain wilayah administrasi dan jumlah penduduk. Uraian lengkap tentang persyaratan pembentukan daerah pemilihan, dipersilakan membaca artikel yang saya tulis berjudul: Demokrasi dan Pembentukan Daerah Pemilihan, yang dimuat harian Kompas, Selasa 19 Maret 2013, h. 6.  Lingkup dan besaran daerah pemilihan anggota DPD secara jelas sudah ditetapkan dalam UU No. 8 Tahun 2012, yaitu daerah pemilihan anggota DPD adalah provinsi, dan setiap daerah pemilihan ini mendapat alokasi empat kursi.

Peserta dan Pola Pencalonan
Dimensi yang kedua berkaitan dengan Peserta dan pola pencalonan.
Tiga kemungkinan untuk Peserta Pemilu: partai politik yang memenuhi persyaratan menjadi Peserta Pemilu, calon yang diajukan oleh partai politik, dan/atau calon nonpartai (independen). Siapa yang menjadi Peserta Pemilu dan apa saja persyaratan yang harus dipenuhi (persyaratan yang ringan ataukah berat) sudah barang tentu tergantung pada sistem kepartaian ataupun sistem perwakilan politik yang hendak diwujudkan. Kalau partai politik yang menjadi peserta Pemilu, maka calon dapat saja diseleksi dan diajukan oleh pengurus partai politik tetapi dapat pula diseleksi oleh pengurus partai tetapi dipilih oleh anggota partai secara terbuka dan kompetitif melalui pemilihan pendahuluan. Jumlah calon yang dapat diajukan sudah barang tentu tergantung pada besaran daerah pemilihan, yaitu berapa kursi yang ditetapkan untuk setiap daerah pemilihan tertentu. Apabila partai politiklah yang mengajukan calon, sedangkan untuk suatu daerah pemilihan dialokasikan lebih dari satu kursi, maka daftar calon yang diajukan partai politik dapat bersifat tertutup, yaitu nomor urut calon yang akan mendapatkan kursi ditentukan oleh pengurus partai politik (party list), tetapi dapat pula bersifat terbuka, yaitu nomor urut  calon yang akan mendapatkan kursi ditentukan oleh pemilih berdasarkan rangking jumlah suara yang diperoleh setiap calon (open list). Pilihan atas peserta Pemilu, pihak yang mengajukan calon, dan pola pencalonan sudah barang tentu akan mempunyai implikasi tidak saja pada keterwakilan berbagai kelompok masyarakat dalam lembaga perwakilan tetapi juga pada kualitas calon terpilih.
Aspek lain yang juga termasuk ke dalam pola pencalonan adalah upaya menjamin keterwakilan kelompok masyarakat yang karena faktor kultural dan struktural atau karena jumlahnya kecil sampai kapanpun akan tetap “tak terwakili” (unrepresented) atau “terwakili secara rendah” (underrepresented) dalam lembaga perwakilan rakyat. Setidak-tidaknya tiga cara untuk menjamin keterwakilan kelompok masyarakat tertentu, seperti perempuan, kelompok pekerja di luar negeri, kelompok suku bangsa, dan kelompok agama. Pertama, UU menjamin sejumlah kursi tertentu untuk kelompok masyarakat tersebut (reserved seats) sehingga calon yang memperebutkan kursi itu juga hanya berasal dari kelompok masyarakat tersebut, seperti jaminan tiga kursi untuk pekerja Filipina di luar negeri. Kedua, kebijakan kuota calon, yaitu UU mewajibkan partai politik mengajukan sekurang-kurangnya dalam persentase tertentu (30% atau 50%) perempuan dalam daftar calon di setiap daerah pemilihan. Dan ketiga, kebijakan kuota calon dalam nomor kecil, yaitu mewajibkan partai politik mengajukan sekurang-kurangnya seorang perempuan dalam setiap tiga calon, atau, menempatkan perempuan dan laki-laki dalam nomor ganjil atau genap.
Berdasarkan ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, Peserta Pemilu anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, sedangkan berdasarkan Pasal 22E ayat (4) Peserta Pemilu Anggota DPD adalah perseorangan. Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2012, partai politik harus memenuhi sejumlah persyaratan yang cukup  berat untuk dapat menjadi Peserta Pemilu, baik yang menyangkut jumlah kepengurusan pada tingkat provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan beserta kantor tetap untuk setiap tingkat kepengurusan maupun yang menyangkut jumlah anggota di setiap kabupaten/kota. Partai politik yang memenuhi persyaratan tersebut akan ditetapkan KPU sebagai Peserta Pemilu. Sebagai Peserta Pemilu, partai dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya sama dengan jumlah kursi yang dialokasikan di setiap Daerah Pemilihan. Partai Politik mengajukan daftar nama bakal calon berdasarkan nomor urut berdasarkan hasil pemilihan secara demokratik dan terbuka sebagaimana diatur dalam AD/ART Partai.  Selain itu setiap partai politik wajib mengajukan sekurang-kurangnya 30% perempuan dalam dalam daftar bakal calon untuk setiap Daerah Pemilihan, dan wajib mengajukan sekurang-kurangnya seorang perempuan untuk setiap tiga calon dalam daftar bakal calon tersebut. Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2012, anggota partai dapat saja mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD sepanjang tidak atas nama partai melainkan atas nama perseorangan. Sebagaimana halnya dengan partai politik, untuk dapat menjadi calon perseorangan dari suatu provinsi yang bersangkutan tidak hanya harus berdomisili di provinsi tersebut tetapi juga harus memenuhi sejumlah persyaratan yang tidak ringan, seperi dukungan pemilih dalam persentase tertentu dari jumlah penduduk provinsi tersebut.


Model Pemberian Suara
Dimensi ketiga menyangkut model pemberian suara (balloting), yang partai politik, atau kepada kandidat, ataukah keduanya; (b) apakah pemberian suara dilakukan secara kategorik (ini atau itu) ataukah, secara ordinal, seperti sistem preferensi, yaitu merangking pilihan atas sejumlah calon (alternative votes); dan (c) apakah pemberian suara dilakukan secara manual (menggunakan surat suara) ataukah menggunakan elektronik (E-Voting). Alternatif pilihan yang diberikan terhadap (a) dan (b) mempunyai implikasi yang luas terhadap banyak hal, seperti kepada siapa calon terpilih akan bertanggung-gugat (akuntabel), orientasi politik peserta Pemilu apakah inklusif ataukah eksklusif, dan pola perilaku memilih apakah berupa politik massa ataukah citizen politics. Pilihan atas (c) akan mempunyai implikasi tidak saja pada efisiensi waktu dan biaya tetapi juga pada kualitas pemilihan umum.
Pemberian suara, menurut UU No. 8 Tahun 2012, dilakukan secara kategorik. Suara diberikan kepada satu partai politik dan/atau seorang nama calon, dan pemberian suara dilakukan secara manual. Kalau dalam Pemilu 2009 pemilih memberikan suara dengan memberikan tanda centang (menyontreng), pada Pemilu 2014 pemilih akan memberikan suara dengan mencoblos seperti pada masa lalu. Pemilih memberikan suaranya dengan mencoblos satu tanda gambar, atau, mencoblos nomor urut atau nama seorang calon, atau, mencoblos satu tanda gambar partai dan nomor urut atau nama seorang calon yang dicalonkan partai yang dicoblos tersebut. Mencoblos nomor urut atau nama seorang calon berarti juga memberikan suara kepada partai yang mengajukan calon tersebut. Kalau memberikan suara kepada seorang nama calon berarti suara pemilih tersebut tidak hanya ikut menentukan perolehan kursi partai tetapi juga menentukan calon terpilih. Sebaliknya suara yang diberikan kepada partai politik hanya ikut menentukan perolehan kursi partai.






Tata Cara Penyelenggaraan Pemilu Legislatif

1. Masa tenang Pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD dan DPRD Tahapan Yang Sedang Berjalan Pemungutan dan penghitungan suara Tahapan Yang Akan Berjalan Pelaksanaan kampanye.

2. PESERTA PEMILU 1 NASDEM 2 PKB 3 PKS 4 PDIP 6 Gerindra GOLKAR5 7 Demokrat 8 PAN 9 PPP 14 PBB 15 PKPI 10 HANURA, PARTAI LOKAL ACEH 11 12 13.

3. METODE KAMPANYE 1 • Pertemuan tatap muka • Penyebaran bahan Kampanye 2 • Pemasangan alat peraga • Iklan di media massa 3 • Rapat umum • Kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan peraturan TAHAPAN KAMPANYE dan JADWAL KAMPANYE.

4. Kategorisasi Pemilih Pemilih yang terdaftar dalam DPT di TPS yang bersangkutan Pemilih yang terdaftar dalam DPTb Pemilih khusus yang terdaftar dalam DPK Pemilih khusus tambahan yang terdaftar dalam DPKTb PENGHITUNGAN SUARA DI TPS.

5. Alasan Menjadi DPTb Menjalankan tugas di tempat lain pada hari dan tanggal pemungutan suara Menjalani rawat inap di rumah sakit Menjadi tahanan di Rutan atau LP Tugas belajar, pindah domisili dan tertimpa bencana alam.

6. Pengelolaan DPTb Melapor kepada PPS asal untuk memperoleh formulir Model A5-KPU PPS menandatangani dan memberikan formulir Model A5-KPU serta mencoret nama Pemilih tersebut dari DPT pada TPS asal Pemilih melapor kepada PPS tempat Pemilih akan memberikan suaranya paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara Menunjukkan identitas berupa KTP atau Identitas Lain dan formulir Model A5-KPU Yang tidak sempat melapor ke PPS tetap dapat menggunakan hak pilihnya pada saat pemungutan suara Pemilih diberikan surat suara DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota Diberi kesempatan memilih dari pukul 07.00-13.00 WIB.

7. Pengelolaan DPK Melapor kepada PPS sejak tanggal ditetapkan DPT oleh KPU Kabupaten/Kota- paling lambat 14 hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara Menunjukkan KTP atau identitas lain dari RT/RW/kepala dusun/ kepala desa/lurah setempat Dicatat dalam DPK dan disampaikan oleh PPS kepada KPU Provinsi melalui PPK dan KPU Kabupaten/Kota untuk ditetapkan oleh KPU Provinsi paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara Memberikan suara di TPS yang berada di wilayah RT/RW atau nama lain sesuai dengan alamat yang tercantum dalam KTP atau Identitas Lain atau Paspor.

8. Pengelolaan DPK Tb Memberikan suara pada hari dan tanggal pemungutan suara di TPS RT/RW atau nama lain sesuai dengan alamat yang tertera dalam KTP dan KK atau nama sejenisnya atau Paspor Mendaftarkan diri di TPS kepada KPPS dengan menunjukkan KTP dan KK atau nama sejenisnya atau Pasport Memberikan suara di TPS 1 (satu) jam sebelum berakhirnya waktu pemungutan suara.

9. PEMUNGUTAN SUARA Persiapan KPPS mengumumkan hari, tanggal, dan waktu Pemungutan Suara, serta nama TPS kepada Pemilih paling lambat 5 (lima) hari sebelum hari dan tanggal Pemungutan Suara KPPS menyampaikan formulir Model C6 untuk memberikan suara kepada Pemilih yang terdaftar dalam DPT, DPTb, dan DPK paling lambat 3 hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara Jika terdapat pemilih yang terdaftar dalam DPT, DPTb, atau DPK, dan belum menerima formulir Model C6, atau formulir Model C6 tersebut hilang dan belum melapor, Pemilih yang bersangkutan dapat memberikan suara di TPS dengan menunjukkan KTP atau identitas lain atau Paspor.

10. Kegiatan Pra Pemungutan Suara Membuka kotak suara Memeriksa sampul yang berisi Surat Suara Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota masih dalam keadaan disegel Mengeluarkan seluruh isi kotak suara di atas meja secara tertib dan teratur Mengidentifikasi dan menghitung jumlah setiap jenis dokumen dan peralatan Menghitung dan memeriksa kondisi seluruh Surat Suara termasuk surat suara cadangan sebanyak 2% (dua persen) dari jumlah Pemilih yang tercantum dalam DPT Memperlihatkan kepada Pemilih dan Saksi yang hadir bahwa kotak suara benar-benar telah kosong, menutup kembali, mengunci kotak suara dan meletakkannya di tempat yang telah ditentukan Memastikan kesesuaian dengan dapil dan menandatangani Surat Suara yang akan digunakan.

11. Tata Cara Pemberian Suara Memastikan Surat Suara yang diterima telah ditandatangani oleh Ketua KPPS Menggunakan alat coblos yang telah disediakan berupa paku Pemberian suara dilakukan dengan cara mencoblos Mencoblos pada kolom yang berisi nomor urut dan nama calon Mencoblos pada kolom yang berisi nomor urut, tanda gambar, dan nama Partai Politik Peserta Pemilu Mencoblos pada Partai Politik Peserta Pemilu yang sama Pemberian suara pada Surat Suara Pemilu Anggota DPD dilakukan dengan cara mencoblos pada nomor urut calon atau foto calon atau nama calon sepanjang dalam satu kolom calon yang sama.

12. Pemberian Suara Bagi Pemilih Khusus Tambahan Memberikan suara 1 (satu) jam sebelum waktu Pemungutan Suara di TPS berakhir KPPS memberikan Surat Suara kepada Pemilih dengan mempertimbangkan ketersediaan Surat Suara di TPS Jika Surat Suara di TPS telah habis, Pemilih khusus diarahkan untuk memberikan suara di TPS lain yang terdekat TPS lain yang terdekat masih dalam satu wilayah kerja PPS sesuai alamat tempat tinggal Pemilih yang tercantum dalam KTP dan KK atau Identitas lain atau Paspor.

13. Pemberian Bantuan Untuk Pemilih Pemilih yang tidak dapat berjalan, pendamping yang ditunjuk membantu Pemilih menuju bilik suara, dan pencoblosan Surat Suara dilakukan oleh Pemilih sendiri Pendamping yang ditunjuk membantu Pemilih wajib merahasiakan pilihan Pemilih yang bersangkutan, dan menandatangani surat pernyataan dengan menggunakan Formulir Model C3 Pemilih yang tidak mempunyai dua belah tangan dan tunanetra, pendamping yang ditunjuk membantu mencoblos Surat Suara sesuai kehendak Pemilih dengan disaksikan oleh salah satu Anggota KPPS.

14. PENGHITUNGAN SUARA Pencatatan Surat Suara Ke Dalam Formulir C1 Jumlah Pemilih terdaftar dalam salinan DPT yang memberikan suara Jumlah Pemilih terdaftar dalam DPK yang memberikan suara Jumlah Pemilih terdaftar dalam DPTb yang memberikan suara Jumlah Surat Suara yang diterima termasuk Surat Suara cadangan Jumlah Pemilih yang memberikan suara menggunakan KTP dan KK atau Identitas lain atau Paspor (DPKTb) Jumlah Surat Suara yang dikembalikan oleh Pemilih karena rusak atau keliru mencoblos Jumlah Surat Suara yang tidak terpakai Jumlah Surat Suara cadangan yang tidak terpakai Pencatatan surat suara dimulai dari surat suara DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

15. Tata Cara Penghitungan Suara Membuka kunci dan tutup kotak suara dengan disaksikan oleh semua yang hadir Menghitung jumlah Surat Suara dan memberitahukan jumlah tersebut kepada yang hadir serta mencatat jumlah yang diumumkan Mengeluarkan Surat Suara dari kotak suara Menetapkan jumlah surat suara yang telah diumumkan dengan yang disaksikan oleh yang hadir dan/atau Saksi Mencatat hasil penghitungan surat suara yang diumumkan sebagaimana dimaksud pada huruf d dengan menggunakan formulir Model C1 Penghitungan dan pencatatan hasil dimulai dari surat suara anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

16. Suara Sah Tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar, dan nama Partai Politik, suaranya dinyatakan sah untuk Partai Politik Tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar, dan nama Partai Politik, serta tanda coblos lebih dari 1 (satu) calon pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon dari Partai Politik yang sama, suaranya dinyatakan sah 1 (satu) suara untuk Partai Politik Tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon anggota, suaranya dinyatakan sah untuk nama calon yang bersangkutan dari Partai Politik yang mencalonkan Tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar dan nama Partai Politik, serta tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon dari Partai Politik yang bersangkutan, suaranya dinyatakan sah untuk nama calon yang bersangkutan dari Partai Politik yang mencalonkan Tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon anggota DPD, suaranya dinyatakan sah untuk Calon Anggota DPD yang bersangkutan.

17. Kegiatan Setelah Penghitungan Suara Menghitung dan memisahkan Surat Suara yang sudah diperiksa dan suaranya dinyatakan sah untuk suara sah masing-masing Partai Politik dan suara sah masing- masing calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, kemudian diikat dengan karet dan dimasukkan ke dalam sampul kertas Surat Suara yang sudah diperiksa dan suaranya dinyatakan tidak sah, masing-masing dipisahkan untuk suara tidak sah Pemilu Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, kemudian masing-masing diikat dengan karet dan dimasukkan ke dalam sampul kertas Hasil penyusunan/penghitungan suara dicocokkan dengan hasil Penghitungan Suara berdasarkan pencatatan pada Formulir Model C1 DPR Plano Berhologram, Model C1 DPD Plano Berhologram, Model C1 DPRD Provinsi Plano Berhologram, Model C1 DPRD Kabupaten/Kota Plano Berhologram Menghitung dan memisahkan Surat Suara yang sudah diperiksa dan suaranya dinyatakan sah untuk masing-masing calon Anggota DPD, kemudian diikat dengan karet dan dimasukkan ke dalam sampul kertas Surat Suara yang sudah diperiksa dan suaranya dinyatakan tidak sah untuk Pemilu Anggota DPD, kemudian diikat dengan karet dan dimasukkan ke dalam sampul kertas.

18. Penyusunan dan Pengisian Formulir C Menyusun dan mengisi formulir Model C, Model C1, Lampiran Model C1 DPR, Lampiran Model C1 DPD, Lampiran Model C1 DPRD Provinsi, dan Lampiran Model C1 DPRD Kabupaten/Kota, berdasarkan formulir penghitungan suara yang Berhologram Formulir Model C, Model C1, Lampiran Model C1 DPR, Lampiran Model C1 DPD, Lampiran Model C1 DPRD Provinsi, dan Lampiran Model C1 DPRD Kabupaten/ Kota dimasukkan ke dalam sampul kertas dan disegel Formulir Model C, Model C1 Berhologram, Lampiran Model C1 DPR Berhologram, Lampiran Model C1 DPD Berhologram, Lampiran Model C1 DPRD Provinsi Berhologram, dan Lampiran Model C1 DPRD Kabupaten/Kota Berhologram dimasukkan ke dalam sampul kertas dan disegel Sampul dimasukkan ke dalam kotak suara Pemilu Anggota DPR, dan pada bagian luar kotak suara ditempel label serta segel dan dikunci Formulir Model C, Model C1 Berhologram, Model C1 Berhologram, Lampiran Model C1 DPR Berhologram, Lampiran Model C1 DPD Berhologram, Lampiran Model C1 DPRD Provinsi Berhologram, dan Lampiran Model C1 DPRD Kabupaten/Kota Berhologram dan Lampiran Model C1 DPR, Lampiran Model C1 DPD, Lampiran Model C1 DPRD Provinsi, dan Lampiran Model C1 DPRD Kabupaten/Kota ditandatangani oleh Ketua KPPS dan paling kurang 2 (dua) orang Anggota KPPS serta dapat ditandatangani oleh Saksi yang hadir Dalam hal Saksi Partai Politik atau Saksi calon Anggota DPD yang hadir tidak bersedia menandatangani formulir cukup ditandatangani oleh Saksi Partai Politik atau Saksi calon Anggota DPD yang bersedia menandatangani Penandatanganan formulir dilakukan setelah rapat Penghitungan Suara Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota selesai.

19. Hak Saksi Partai Politik Salinan DPT, Salinan DPTb Salinan DPK dan Salinan A.T.Khusus-KPU Formulir Model C Formulir Model C1, Lampiran Model C1 DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota, dan Model C2.

20. Hak Saksi Calon Anggota DPD Salinan DPT Salinan DPTb Salinan DPK (Model A Khusus KPU) Salinan A.T.Khusus-KPU Formulir Model C Formulir Model C1 DPD, Lampiran Model C1 DPD, dan Model C2.

21. Penyelesaian Keberatan Saksi/PPL dapat mengajukan keberatan terhadap prosedur dan/atau selisih penghitungan perolehan suara kepada KPPS Dalam hal keberatan yang diajukan Saksi/PPL dapat diterima, KPPS mengadakan pembetulan Dalam hal terdapat keberatan Saksi/PPL, KPPS wajib menjelaskan prosedur dan/atau mencocokan selisih perolehan suara dengan formulir sertifikat hasil penghitungan suara dan C1 Plano Pembetulan hasil penghitungan perolehan suara dilakukan koreksi dengan cara mencoret angka yang salah dan menuliskan angka yang benar dengan dibubuhi paraf Ketua KPPS dan Saksi Dalam hal pembetulan yang telah dilakukan KPPS masih terdapat keberatan dari Saksi, KPPS meminta pendapat dan rekomendasi PPL yang hadir KPPS wajib menindaklanjuti rekomendasi PPL KPPS wajib mencatat seluruh kejadian dalam rapat penghitungan suara pada formulir Model C2 DPR/ DPD/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota KPPS memberi kesempatan kepada Saksi, PPL dan Pemantau Pemilu untuk mendokumentasikan hasil penghitungan suara Dokumen dapat berupa foto atau video.