Monday 5 May 2014

Sistem Pemilu Dan Prosedur Pemilu Di Indonesia

Sistem Pemilihan Umum

Oleh: Ramlan Surbakti

Tulisan berikut ini akan difokuskan pada dua hal, yaitu empat unsur mutlak dan dua unsur pilihan sistem pemilihan umum, dan tiga model sistem pemilihan umum; dan sistem pemilihan umum yang digunakan untuk memilih anggota DPR dan DPRD dan sistem pemilihan umum yang diterapkan untuk memilih anggota DPD berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

Secara normatif (berdasarkan undang-undang di Indonesia), Pemilihan Umum dirumuskan sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang  dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam  Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012). Rumusan normatif ini belum menggambarkan secara jelas ‘sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat’ untuk memilih siapa, tetapi sudah menyebutkan asas-asas yang menuntu pemilihan umum tersebut. Karena itu perlu merujuk rumusan lain tentang apa itu pemilihan umum. Pertama, pemilihan umum dirumuskan sebagai prosedur dan mekanisme konversi suara pemilih menjadi kursi penyelenggara negara lembaga legislatif atau eksekutif baik Pusat maupun daerah. Definisi ini sudah jelas menggambarkan tidak saja penyelenggara Negara lembaga  apa saja yang dipilih melalui pemilihan umum tetapi juga sudah menunjukkan bahwa pemilihan umum merupakan prosedur dan mekanisme teknis untuk mengkonversi suara pemilih menjadi kursi penyelenggara Negara. Akan tetapi definisi ini belum menunjukkan prosedur dan mekanisme konversi tersebut dan belum menunjukkan asas-asas yang harus menuntun prosedur dan mekanisme tersebut. Karena itu definisi tadi masih harus dilengkapi berupa asas-asas pemilihan umum demokratik, dan tiga perangkat konversi tadi, yaitu sistem pemilihan umum, proses penyelenggaraan tahapan Pemilu, dan logistik Pemilu.

Kedua, pemilihan umum merupakan mekanisme pendelegasian sebagian kedaulatan dari rakyat kepada Peserta   Pemilu dan/atau calon anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden/Wakil Presiden, dan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah untuk membuat dan  melaksanakan keputusan politik sesuai dengan kehendak rakyat. Seperti definisi normatif di atas, definisi ini sudah menunjukkan mengapa harus diselenggarakan pemilihan umum dan mengapa rakyat yang harus memilih penyelenggara Negara, siapa saja penyelenggara Negara yang dipilih, dan untuk apa penyelenggara negara dipilih. Akan tetapi definisi ini belum menyinggung bagaimana memilih penyelenggara Negara dan apa asas yang menuntut pemilihan umum tersebut. Dan ketiga, pemilihan umum merupakan mekanisme pemindahan berbagai macam perbedaan dan pertentangan kepentingan dari masyarakat kedalam lembaga legislatif dan eksekutif  untuk dibahas dan diputuskan secara terbuka dan beradab.

Selain dari segi arti Pemilu, juga diperlukan ulasan tentang fungsi pemilihan umum. Pertama, pemilihan umum berfungsi sebagai mekanisme perubahan politik mengenai pola dan arah kebijakan publik,  dan/atau mengenai sirkulasi elit, secara periodik dan tertib. Kedua, pemilihan umum berfungsi sebagai sarana integrasi nasional. Dan ketiga, pemilihan umum (khususnya sistem pemilihan umum) juga berfungsi sebagai instrument demokratisasi sistem politik, yang secara teknis dikenal sebagai perekayasaan sistem pemilihan umum untuk membangun tata politik demokrasi (electoral engineering for democratic political system).

Dalam artian pertama di atas, sistem pemilihan umum merupakan mekanisme yang diadopsi untuk mengubah suara rakyat menjadi kursi penyelenggara Negara (conversion of votes into governmental seats or positions). Untuk mengkonversi suara rakyat menjadi kursi penyelenggara Negara diperlukan dua perangkat lunak, yaitu  sistem pemilihan umum, dan proses penyelenggaraan tahapan Pemilu (electoral processes), dan satu perangkat keras, yaitu logistik Pemilu. Setiap sistem pemilihan umum mengandung empat unsur mutlak, yaitu: (1) besaran daerah pemilihan (district magnitude), (2) peserta dan pola pencalonan (nomination), (3) model penyuaraan (balloting), dan (4) formula pemilihan dan/atau penetapan calon terpilih (electoral formulae), dan dua unsur pilihan, yaitu ambang-batas masuk DPR/D (electoral threshold), dan pola kalender penyelenggaraan berbagai jenis Pemilu. Dalam setiap unsur terdapat berbagai pilihan model, prosedur dan mekanisme, dan gabungan pilihan dari setiap unsur itulah yang kemudian membentuk suatu sistem pemilihan umum. Sistem pemilihan umum macam apakah yang diadopsi oleh suatu Negara tergantung pada tatanan politik demokrasi yang hendak diwujudkan. Secara umum dikenal tiga model sistem pemilihan umum, yaitu (a) sistem pemilihan umum mayoritas-pluralitas yang di Indonesia lebih dikenal dengan sistem distrik (suatu ungkapan yang agak aneh bagi Ilmu Politik karena setiap sistem pemilihan umum memiliki daerah pemilihan alias distrik), (b) sistem pemilihan umum perwakilan berimbang (proportional representation) yang di Indonesia dikenal dengan sistem proporsional, dan (c) berbagai varian sistem pemilihan campuran (mix electoral systems), antara lain Mix Members Parliament, MMP).

Nama yang diberikan kepada sistem pemilihan umum sangat beragam, seperti sistem proporsional, sistem mayoritas-pluralitas, First Pass The Post (FPTP), satu kursi setiap daerah pemilihan (single-member constituency), banyak kursi setiap daerah pemilihan (multi-member constituency), sistem daftar terbuka (closed list system), sistem daftar tertutup (open list system), dan sistem preferensi (alternative votes). Keragaman ini terjadi karena masing-masing pihak menamai sistem pemilihan umum dari salah satu unsur sistem pemilihan umum. Mereka yang melihat sistem pemilihan umum dari dimensi lingkup dan besaran daerah pemilihan menamai sistem pemilihan umum itu sebagai single-member constituency atau multi-members constituency. Bila  sistem pemilihan umum dilihat dari dimensi pencalonan, maka sistem pemilihan umum akan dinamai sistem daftar terbuka  atau sistem daftar tertutup. Sistem pemilihan umum preferensi (baik total maupun parsial) alias alternative votes, sebagaimana diterapkan di Australia, merupakan nama sistem pemilihan umum yang dilihat dari dimensi model pemberian suara. Tetapi bila sistem pemilihan umum dilihat dari dimensi formula menentukan calon terpilih, maka nama yang diberikan terhadap sistem pemilihan umum adalah sistem proporsional atau sistem mayoritas/pluralitas. Dari sekian banyak nama yang diberikan terhadap sistem pemilihan tidak ada yang mampu mencakup keempat unsur sistem pemilihan umum tersebut.

SISTEM PEMILIHAN UMUM

Sebelum membahas pilihan model, pola, prosedur dan mekanisme dari setiap unsur sistem pemilihan umum yang diadopsi dalam UU Nomor 8 Tahun 2012, terlebih dahulu akan dijelaskan keempat unsur mutlak yang membentuk setiap sistem pemilihan umum. Selain keempat unsur ini terdapat dua unsur yang tidak bersifat mutlak alias pilihan, yaitu ambang-batas untuk dapat memasuki lembaga perwakilan (electoral threshold), dan kalender waktu penyelenggaraan berbagai jenis Pemilu. Kedua unsur ini disebut tidak mutlak karena tanpa salah satu dari kedua unsur ini keempat unsur sistem pemilihan umum tersebut masih mampu mengkonversi suara pemilih menjadi kursi penyelenggara negara. Disebut pilihan karena penggunaannya tergantung pada tujuan yang hendak dicapai.
        
Lingkup dan Besaran Daerah Pemilihan

Penentuan lingkup dan besaran Daerah Pemilihan antara lain dipengaruhi oleh sistem perwakilan politik yang diadopsi oleh suatu negara. Sistem perwakilan politik menggambarkan jenis aspirasi apa saja yang perlu diwakili oleh lembaga legislatif tersendiri. Sistem perwakilan politik unikameral hanya memiliki satu lembaga legislatif untuk mewakili aspirasi orang/penduduk/rakyat, sedangkan sistem perwakilan politik bikameral memiliki dua lembaga legislatif, yang satu mewakili aspirasi orang/penduduk/rakyat dan yang satu lagi mewakili aspirasi ruang/wilayah/provinsi atau negara Bagian. Aspirasi rakyat diwadahi dalam Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan aspirasi wilayah diwadahi Senat atau Dewan Perwakilan Daerah. Uraian tentang bagaimana menentukan jumlah anggota kedua lembaga ini, dan apa prinsip yang mendasari dan bagaimana mengalokasikan kursi kedua lembaga ini ke daerah pemilihan, dapat dibaca pada artikelSistem Perwakilan Politik: Kesetaraan Pemilih dan Kesetaraan Daerah  yang saya tulis.
Dimensi pertama menyangkut lingkup dan besaran daerah pemilihan
(district magnitude) untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD, dan untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Yang dimaksud dengan daerah pemilihan ialah batas wilayah administrasi dan/atau jumlah penduduk tempat peserta Pemilu dan/atau calon bersaing memperebutkan suara pemilih, dan karena itu juga menjadi dasar penentuan perolehan kursi bagi peserta dan/atau  calon terpilih. Lingkup daerah pemilihan dapat ditentukan berdasarkan (a) wilayah administrasi pemerintahan (nasional, provinsi atau kabupaten/kota), (b) jumlah penduduk, atau, (c) kombinasi faktor wilayah dengan jumlah penduduk. Besaran daerah pemilihan merujuk pada jumlah kursi untuk setiap daerah pemilihan, yaitu apakah satu kursi untuk setiap daerah pemilihan (single-member constituency) ataukah banyak kursi untuk setiap daerah pemilihan (multi-member constituencies). Multi-members Constituency masih dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu small (3-5), medium (6-9), dan large (>10) constituencies.
Karena Perubahan Ketiga UUD 1945 mengadopsi sistem perwakilan rakyat berupa “hampir bikameral” (bukan soft bicameral dan bukan pula strong bicameral), yaitu keberadaan DPR sebagai lembaga perwakilan yang mewakili penduduk (orang) sedangkan DPD mewadahi keterwakilan daerah (ruang) tetapi dengan kewenangan yang terbatas, maka yang perlu dicermati dalam UU Pemilu  ialah apakah daerah pemilihan anggota DPR didasarkan sepenuhnya pada jumlah penduduk ataukah berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan? Kalau sepenuhnya berdasarkan jumlah penduduk, maka jumlah kursi DPR tidak boleh tetap melainkan dapat berubah sekali dalam 10 tahun sesuai dengan hasil sensus penduduk, dan alokasi kursi DPR kepada setiap provinsi juga sepenuhnya berdasarkan jumlah penduduk, sehingga tidak saja ‘prinsip satu orang, satu suara dan satu nilai’ (OPOVOV) akan dapat diwujudkan tetapi juga jumlah kursi DPR di pulau Jawa akan lebih banyak daripada jumlah kursi DPR untuk luar pulau Jawa karena lebih banyak penduduk Indonesia timggal di Pulau Jawa daripada Luar Pulau Jawa. Kalau DPD tidak memiliki kewenangan yang setara dengan DPR, maka alokasi kursi DPR untuk setiap provinsi kemungkinan besar tidak ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk saja tetapi juga berdasarkan pertimbangan wilayah/daerah.
Lingkup dan besaran daerah pemilihan anggota DPR menurut UU No. 8
Tahun 2012 dapat digambarkan sebagai berikut. Pertama, daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi atau bagian-bagian dari provinsi. Kedua, jumlah anggota DPR ditetapkan sebanyak 560 orang. Ketiga, jumlah kursi DPR untuk setiap provinsi ditetapkan sebagai Lampiran Undang-Undang yang pada dasarnya sama dengan alokasi kursi DPR pada Pemilu 2009, dan alokasi kursi DPR untuk Pemilu 2009 adalah perbaikan atas alokasi DPR pada Pemilu 2004 karena adanya penambangan 10 kursi DPR. Dan keempat, setiap daerah pemilihan mendapat alokasi kursi antara tiga sampai 10 kursi. Akan tetapi UU sama sekali tidak menentukan persyaratan lain untuk membentuk suatu daerah pemilihan selain wilayah administrasi dan jumlah penduduk. Uraian lengkap tentang persyaratan pembentukan daerah pemilihan, dipersilakan membaca artikel yang saya tulis berjudul: Demokrasi dan Pembentukan Daerah Pemilihan, yang dimuat harian Kompas, Selasa 19 Maret 2013, h. 6.  Lingkup dan besaran daerah pemilihan anggota DPD secara jelas sudah ditetapkan dalam UU No. 8 Tahun 2012, yaitu daerah pemilihan anggota DPD adalah provinsi, dan setiap daerah pemilihan ini mendapat alokasi empat kursi.

Peserta dan Pola Pencalonan
Dimensi yang kedua berkaitan dengan Peserta dan pola pencalonan.
Tiga kemungkinan untuk Peserta Pemilu: partai politik yang memenuhi persyaratan menjadi Peserta Pemilu, calon yang diajukan oleh partai politik, dan/atau calon nonpartai (independen). Siapa yang menjadi Peserta Pemilu dan apa saja persyaratan yang harus dipenuhi (persyaratan yang ringan ataukah berat) sudah barang tentu tergantung pada sistem kepartaian ataupun sistem perwakilan politik yang hendak diwujudkan. Kalau partai politik yang menjadi peserta Pemilu, maka calon dapat saja diseleksi dan diajukan oleh pengurus partai politik tetapi dapat pula diseleksi oleh pengurus partai tetapi dipilih oleh anggota partai secara terbuka dan kompetitif melalui pemilihan pendahuluan. Jumlah calon yang dapat diajukan sudah barang tentu tergantung pada besaran daerah pemilihan, yaitu berapa kursi yang ditetapkan untuk setiap daerah pemilihan tertentu. Apabila partai politiklah yang mengajukan calon, sedangkan untuk suatu daerah pemilihan dialokasikan lebih dari satu kursi, maka daftar calon yang diajukan partai politik dapat bersifat tertutup, yaitu nomor urut calon yang akan mendapatkan kursi ditentukan oleh pengurus partai politik (party list), tetapi dapat pula bersifat terbuka, yaitu nomor urut  calon yang akan mendapatkan kursi ditentukan oleh pemilih berdasarkan rangking jumlah suara yang diperoleh setiap calon (open list). Pilihan atas peserta Pemilu, pihak yang mengajukan calon, dan pola pencalonan sudah barang tentu akan mempunyai implikasi tidak saja pada keterwakilan berbagai kelompok masyarakat dalam lembaga perwakilan tetapi juga pada kualitas calon terpilih.
Aspek lain yang juga termasuk ke dalam pola pencalonan adalah upaya menjamin keterwakilan kelompok masyarakat yang karena faktor kultural dan struktural atau karena jumlahnya kecil sampai kapanpun akan tetap “tak terwakili” (unrepresented) atau “terwakili secara rendah” (underrepresented) dalam lembaga perwakilan rakyat. Setidak-tidaknya tiga cara untuk menjamin keterwakilan kelompok masyarakat tertentu, seperti perempuan, kelompok pekerja di luar negeri, kelompok suku bangsa, dan kelompok agama. Pertama, UU menjamin sejumlah kursi tertentu untuk kelompok masyarakat tersebut (reserved seats) sehingga calon yang memperebutkan kursi itu juga hanya berasal dari kelompok masyarakat tersebut, seperti jaminan tiga kursi untuk pekerja Filipina di luar negeri. Kedua, kebijakan kuota calon, yaitu UU mewajibkan partai politik mengajukan sekurang-kurangnya dalam persentase tertentu (30% atau 50%) perempuan dalam daftar calon di setiap daerah pemilihan. Dan ketiga, kebijakan kuota calon dalam nomor kecil, yaitu mewajibkan partai politik mengajukan sekurang-kurangnya seorang perempuan dalam setiap tiga calon, atau, menempatkan perempuan dan laki-laki dalam nomor ganjil atau genap.
Berdasarkan ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, Peserta Pemilu anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, sedangkan berdasarkan Pasal 22E ayat (4) Peserta Pemilu Anggota DPD adalah perseorangan. Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2012, partai politik harus memenuhi sejumlah persyaratan yang cukup  berat untuk dapat menjadi Peserta Pemilu, baik yang menyangkut jumlah kepengurusan pada tingkat provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan beserta kantor tetap untuk setiap tingkat kepengurusan maupun yang menyangkut jumlah anggota di setiap kabupaten/kota. Partai politik yang memenuhi persyaratan tersebut akan ditetapkan KPU sebagai Peserta Pemilu. Sebagai Peserta Pemilu, partai dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya sama dengan jumlah kursi yang dialokasikan di setiap Daerah Pemilihan. Partai Politik mengajukan daftar nama bakal calon berdasarkan nomor urut berdasarkan hasil pemilihan secara demokratik dan terbuka sebagaimana diatur dalam AD/ART Partai.  Selain itu setiap partai politik wajib mengajukan sekurang-kurangnya 30% perempuan dalam dalam daftar bakal calon untuk setiap Daerah Pemilihan, dan wajib mengajukan sekurang-kurangnya seorang perempuan untuk setiap tiga calon dalam daftar bakal calon tersebut. Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2012, anggota partai dapat saja mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD sepanjang tidak atas nama partai melainkan atas nama perseorangan. Sebagaimana halnya dengan partai politik, untuk dapat menjadi calon perseorangan dari suatu provinsi yang bersangkutan tidak hanya harus berdomisili di provinsi tersebut tetapi juga harus memenuhi sejumlah persyaratan yang tidak ringan, seperi dukungan pemilih dalam persentase tertentu dari jumlah penduduk provinsi tersebut.


Model Pemberian Suara
Dimensi ketiga menyangkut model pemberian suara (balloting), yang partai politik, atau kepada kandidat, ataukah keduanya; (b) apakah pemberian suara dilakukan secara kategorik (ini atau itu) ataukah, secara ordinal, seperti sistem preferensi, yaitu merangking pilihan atas sejumlah calon (alternative votes); dan (c) apakah pemberian suara dilakukan secara manual (menggunakan surat suara) ataukah menggunakan elektronik (E-Voting). Alternatif pilihan yang diberikan terhadap (a) dan (b) mempunyai implikasi yang luas terhadap banyak hal, seperti kepada siapa calon terpilih akan bertanggung-gugat (akuntabel), orientasi politik peserta Pemilu apakah inklusif ataukah eksklusif, dan pola perilaku memilih apakah berupa politik massa ataukah citizen politics. Pilihan atas (c) akan mempunyai implikasi tidak saja pada efisiensi waktu dan biaya tetapi juga pada kualitas pemilihan umum.
Pemberian suara, menurut UU No. 8 Tahun 2012, dilakukan secara kategorik. Suara diberikan kepada satu partai politik dan/atau seorang nama calon, dan pemberian suara dilakukan secara manual. Kalau dalam Pemilu 2009 pemilih memberikan suara dengan memberikan tanda centang (menyontreng), pada Pemilu 2014 pemilih akan memberikan suara dengan mencoblos seperti pada masa lalu. Pemilih memberikan suaranya dengan mencoblos satu tanda gambar, atau, mencoblos nomor urut atau nama seorang calon, atau, mencoblos satu tanda gambar partai dan nomor urut atau nama seorang calon yang dicalonkan partai yang dicoblos tersebut. Mencoblos nomor urut atau nama seorang calon berarti juga memberikan suara kepada partai yang mengajukan calon tersebut. Kalau memberikan suara kepada seorang nama calon berarti suara pemilih tersebut tidak hanya ikut menentukan perolehan kursi partai tetapi juga menentukan calon terpilih. Sebaliknya suara yang diberikan kepada partai politik hanya ikut menentukan perolehan kursi partai.






Tata Cara Penyelenggaraan Pemilu Legislatif

1. Masa tenang Pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD dan DPRD Tahapan Yang Sedang Berjalan Pemungutan dan penghitungan suara Tahapan Yang Akan Berjalan Pelaksanaan kampanye.

2. PESERTA PEMILU 1 NASDEM 2 PKB 3 PKS 4 PDIP 6 Gerindra GOLKAR5 7 Demokrat 8 PAN 9 PPP 14 PBB 15 PKPI 10 HANURA, PARTAI LOKAL ACEH 11 12 13.

3. METODE KAMPANYE 1 • Pertemuan tatap muka • Penyebaran bahan Kampanye 2 • Pemasangan alat peraga • Iklan di media massa 3 • Rapat umum • Kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan peraturan TAHAPAN KAMPANYE dan JADWAL KAMPANYE.

4. Kategorisasi Pemilih Pemilih yang terdaftar dalam DPT di TPS yang bersangkutan Pemilih yang terdaftar dalam DPTb Pemilih khusus yang terdaftar dalam DPK Pemilih khusus tambahan yang terdaftar dalam DPKTb PENGHITUNGAN SUARA DI TPS.

5. Alasan Menjadi DPTb Menjalankan tugas di tempat lain pada hari dan tanggal pemungutan suara Menjalani rawat inap di rumah sakit Menjadi tahanan di Rutan atau LP Tugas belajar, pindah domisili dan tertimpa bencana alam.

6. Pengelolaan DPTb Melapor kepada PPS asal untuk memperoleh formulir Model A5-KPU PPS menandatangani dan memberikan formulir Model A5-KPU serta mencoret nama Pemilih tersebut dari DPT pada TPS asal Pemilih melapor kepada PPS tempat Pemilih akan memberikan suaranya paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara Menunjukkan identitas berupa KTP atau Identitas Lain dan formulir Model A5-KPU Yang tidak sempat melapor ke PPS tetap dapat menggunakan hak pilihnya pada saat pemungutan suara Pemilih diberikan surat suara DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota Diberi kesempatan memilih dari pukul 07.00-13.00 WIB.

7. Pengelolaan DPK Melapor kepada PPS sejak tanggal ditetapkan DPT oleh KPU Kabupaten/Kota- paling lambat 14 hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara Menunjukkan KTP atau identitas lain dari RT/RW/kepala dusun/ kepala desa/lurah setempat Dicatat dalam DPK dan disampaikan oleh PPS kepada KPU Provinsi melalui PPK dan KPU Kabupaten/Kota untuk ditetapkan oleh KPU Provinsi paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara Memberikan suara di TPS yang berada di wilayah RT/RW atau nama lain sesuai dengan alamat yang tercantum dalam KTP atau Identitas Lain atau Paspor.

8. Pengelolaan DPK Tb Memberikan suara pada hari dan tanggal pemungutan suara di TPS RT/RW atau nama lain sesuai dengan alamat yang tertera dalam KTP dan KK atau nama sejenisnya atau Paspor Mendaftarkan diri di TPS kepada KPPS dengan menunjukkan KTP dan KK atau nama sejenisnya atau Pasport Memberikan suara di TPS 1 (satu) jam sebelum berakhirnya waktu pemungutan suara.

9. PEMUNGUTAN SUARA Persiapan KPPS mengumumkan hari, tanggal, dan waktu Pemungutan Suara, serta nama TPS kepada Pemilih paling lambat 5 (lima) hari sebelum hari dan tanggal Pemungutan Suara KPPS menyampaikan formulir Model C6 untuk memberikan suara kepada Pemilih yang terdaftar dalam DPT, DPTb, dan DPK paling lambat 3 hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara Jika terdapat pemilih yang terdaftar dalam DPT, DPTb, atau DPK, dan belum menerima formulir Model C6, atau formulir Model C6 tersebut hilang dan belum melapor, Pemilih yang bersangkutan dapat memberikan suara di TPS dengan menunjukkan KTP atau identitas lain atau Paspor.

10. Kegiatan Pra Pemungutan Suara Membuka kotak suara Memeriksa sampul yang berisi Surat Suara Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota masih dalam keadaan disegel Mengeluarkan seluruh isi kotak suara di atas meja secara tertib dan teratur Mengidentifikasi dan menghitung jumlah setiap jenis dokumen dan peralatan Menghitung dan memeriksa kondisi seluruh Surat Suara termasuk surat suara cadangan sebanyak 2% (dua persen) dari jumlah Pemilih yang tercantum dalam DPT Memperlihatkan kepada Pemilih dan Saksi yang hadir bahwa kotak suara benar-benar telah kosong, menutup kembali, mengunci kotak suara dan meletakkannya di tempat yang telah ditentukan Memastikan kesesuaian dengan dapil dan menandatangani Surat Suara yang akan digunakan.

11. Tata Cara Pemberian Suara Memastikan Surat Suara yang diterima telah ditandatangani oleh Ketua KPPS Menggunakan alat coblos yang telah disediakan berupa paku Pemberian suara dilakukan dengan cara mencoblos Mencoblos pada kolom yang berisi nomor urut dan nama calon Mencoblos pada kolom yang berisi nomor urut, tanda gambar, dan nama Partai Politik Peserta Pemilu Mencoblos pada Partai Politik Peserta Pemilu yang sama Pemberian suara pada Surat Suara Pemilu Anggota DPD dilakukan dengan cara mencoblos pada nomor urut calon atau foto calon atau nama calon sepanjang dalam satu kolom calon yang sama.

12. Pemberian Suara Bagi Pemilih Khusus Tambahan Memberikan suara 1 (satu) jam sebelum waktu Pemungutan Suara di TPS berakhir KPPS memberikan Surat Suara kepada Pemilih dengan mempertimbangkan ketersediaan Surat Suara di TPS Jika Surat Suara di TPS telah habis, Pemilih khusus diarahkan untuk memberikan suara di TPS lain yang terdekat TPS lain yang terdekat masih dalam satu wilayah kerja PPS sesuai alamat tempat tinggal Pemilih yang tercantum dalam KTP dan KK atau Identitas lain atau Paspor.

13. Pemberian Bantuan Untuk Pemilih Pemilih yang tidak dapat berjalan, pendamping yang ditunjuk membantu Pemilih menuju bilik suara, dan pencoblosan Surat Suara dilakukan oleh Pemilih sendiri Pendamping yang ditunjuk membantu Pemilih wajib merahasiakan pilihan Pemilih yang bersangkutan, dan menandatangani surat pernyataan dengan menggunakan Formulir Model C3 Pemilih yang tidak mempunyai dua belah tangan dan tunanetra, pendamping yang ditunjuk membantu mencoblos Surat Suara sesuai kehendak Pemilih dengan disaksikan oleh salah satu Anggota KPPS.

14. PENGHITUNGAN SUARA Pencatatan Surat Suara Ke Dalam Formulir C1 Jumlah Pemilih terdaftar dalam salinan DPT yang memberikan suara Jumlah Pemilih terdaftar dalam DPK yang memberikan suara Jumlah Pemilih terdaftar dalam DPTb yang memberikan suara Jumlah Surat Suara yang diterima termasuk Surat Suara cadangan Jumlah Pemilih yang memberikan suara menggunakan KTP dan KK atau Identitas lain atau Paspor (DPKTb) Jumlah Surat Suara yang dikembalikan oleh Pemilih karena rusak atau keliru mencoblos Jumlah Surat Suara yang tidak terpakai Jumlah Surat Suara cadangan yang tidak terpakai Pencatatan surat suara dimulai dari surat suara DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

15. Tata Cara Penghitungan Suara Membuka kunci dan tutup kotak suara dengan disaksikan oleh semua yang hadir Menghitung jumlah Surat Suara dan memberitahukan jumlah tersebut kepada yang hadir serta mencatat jumlah yang diumumkan Mengeluarkan Surat Suara dari kotak suara Menetapkan jumlah surat suara yang telah diumumkan dengan yang disaksikan oleh yang hadir dan/atau Saksi Mencatat hasil penghitungan surat suara yang diumumkan sebagaimana dimaksud pada huruf d dengan menggunakan formulir Model C1 Penghitungan dan pencatatan hasil dimulai dari surat suara anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

16. Suara Sah Tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar, dan nama Partai Politik, suaranya dinyatakan sah untuk Partai Politik Tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar, dan nama Partai Politik, serta tanda coblos lebih dari 1 (satu) calon pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon dari Partai Politik yang sama, suaranya dinyatakan sah 1 (satu) suara untuk Partai Politik Tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon anggota, suaranya dinyatakan sah untuk nama calon yang bersangkutan dari Partai Politik yang mencalonkan Tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar dan nama Partai Politik, serta tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon dari Partai Politik yang bersangkutan, suaranya dinyatakan sah untuk nama calon yang bersangkutan dari Partai Politik yang mencalonkan Tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon anggota DPD, suaranya dinyatakan sah untuk Calon Anggota DPD yang bersangkutan.

17. Kegiatan Setelah Penghitungan Suara Menghitung dan memisahkan Surat Suara yang sudah diperiksa dan suaranya dinyatakan sah untuk suara sah masing-masing Partai Politik dan suara sah masing- masing calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, kemudian diikat dengan karet dan dimasukkan ke dalam sampul kertas Surat Suara yang sudah diperiksa dan suaranya dinyatakan tidak sah, masing-masing dipisahkan untuk suara tidak sah Pemilu Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, kemudian masing-masing diikat dengan karet dan dimasukkan ke dalam sampul kertas Hasil penyusunan/penghitungan suara dicocokkan dengan hasil Penghitungan Suara berdasarkan pencatatan pada Formulir Model C1 DPR Plano Berhologram, Model C1 DPD Plano Berhologram, Model C1 DPRD Provinsi Plano Berhologram, Model C1 DPRD Kabupaten/Kota Plano Berhologram Menghitung dan memisahkan Surat Suara yang sudah diperiksa dan suaranya dinyatakan sah untuk masing-masing calon Anggota DPD, kemudian diikat dengan karet dan dimasukkan ke dalam sampul kertas Surat Suara yang sudah diperiksa dan suaranya dinyatakan tidak sah untuk Pemilu Anggota DPD, kemudian diikat dengan karet dan dimasukkan ke dalam sampul kertas.

18. Penyusunan dan Pengisian Formulir C Menyusun dan mengisi formulir Model C, Model C1, Lampiran Model C1 DPR, Lampiran Model C1 DPD, Lampiran Model C1 DPRD Provinsi, dan Lampiran Model C1 DPRD Kabupaten/Kota, berdasarkan formulir penghitungan suara yang Berhologram Formulir Model C, Model C1, Lampiran Model C1 DPR, Lampiran Model C1 DPD, Lampiran Model C1 DPRD Provinsi, dan Lampiran Model C1 DPRD Kabupaten/ Kota dimasukkan ke dalam sampul kertas dan disegel Formulir Model C, Model C1 Berhologram, Lampiran Model C1 DPR Berhologram, Lampiran Model C1 DPD Berhologram, Lampiran Model C1 DPRD Provinsi Berhologram, dan Lampiran Model C1 DPRD Kabupaten/Kota Berhologram dimasukkan ke dalam sampul kertas dan disegel Sampul dimasukkan ke dalam kotak suara Pemilu Anggota DPR, dan pada bagian luar kotak suara ditempel label serta segel dan dikunci Formulir Model C, Model C1 Berhologram, Model C1 Berhologram, Lampiran Model C1 DPR Berhologram, Lampiran Model C1 DPD Berhologram, Lampiran Model C1 DPRD Provinsi Berhologram, dan Lampiran Model C1 DPRD Kabupaten/Kota Berhologram dan Lampiran Model C1 DPR, Lampiran Model C1 DPD, Lampiran Model C1 DPRD Provinsi, dan Lampiran Model C1 DPRD Kabupaten/Kota ditandatangani oleh Ketua KPPS dan paling kurang 2 (dua) orang Anggota KPPS serta dapat ditandatangani oleh Saksi yang hadir Dalam hal Saksi Partai Politik atau Saksi calon Anggota DPD yang hadir tidak bersedia menandatangani formulir cukup ditandatangani oleh Saksi Partai Politik atau Saksi calon Anggota DPD yang bersedia menandatangani Penandatanganan formulir dilakukan setelah rapat Penghitungan Suara Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota selesai.

19. Hak Saksi Partai Politik Salinan DPT, Salinan DPTb Salinan DPK dan Salinan A.T.Khusus-KPU Formulir Model C Formulir Model C1, Lampiran Model C1 DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota, dan Model C2.

20. Hak Saksi Calon Anggota DPD Salinan DPT Salinan DPTb Salinan DPK (Model A Khusus KPU) Salinan A.T.Khusus-KPU Formulir Model C Formulir Model C1 DPD, Lampiran Model C1 DPD, dan Model C2.

21. Penyelesaian Keberatan Saksi/PPL dapat mengajukan keberatan terhadap prosedur dan/atau selisih penghitungan perolehan suara kepada KPPS Dalam hal keberatan yang diajukan Saksi/PPL dapat diterima, KPPS mengadakan pembetulan Dalam hal terdapat keberatan Saksi/PPL, KPPS wajib menjelaskan prosedur dan/atau mencocokan selisih perolehan suara dengan formulir sertifikat hasil penghitungan suara dan C1 Plano Pembetulan hasil penghitungan perolehan suara dilakukan koreksi dengan cara mencoret angka yang salah dan menuliskan angka yang benar dengan dibubuhi paraf Ketua KPPS dan Saksi Dalam hal pembetulan yang telah dilakukan KPPS masih terdapat keberatan dari Saksi, KPPS meminta pendapat dan rekomendasi PPL yang hadir KPPS wajib menindaklanjuti rekomendasi PPL KPPS wajib mencatat seluruh kejadian dalam rapat penghitungan suara pada formulir Model C2 DPR/ DPD/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota KPPS memberi kesempatan kepada Saksi, PPL dan Pemantau Pemilu untuk mendokumentasikan hasil penghitungan suara Dokumen dapat berupa foto atau video.

No comments:

Post a Comment