Sistem Pemilihan Umum
Oleh: Ramlan Surbakti
Tulisan
berikut ini akan difokuskan pada dua hal, yaitu empat unsur mutlak dan dua
unsur pilihan sistem pemilihan umum, dan tiga model sistem pemilihan umum; dan
sistem pemilihan umum yang digunakan untuk memilih anggota DPR dan DPRD dan
sistem pemilihan umum yang diterapkan untuk memilih anggota DPD berdasarkan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan
DPRD.
Secara
normatif (berdasarkan undang-undang di Indonesia), Pemilihan Umum dirumuskan
sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8
Tahun 2012). Rumusan normatif ini belum menggambarkan secara jelas ‘sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat’ untuk memilih siapa, tetapi sudah menyebutkan
asas-asas yang menuntu pemilihan umum tersebut. Karena itu perlu merujuk
rumusan lain tentang apa itu pemilihan umum. Pertama, pemilihan umum dirumuskan
sebagai prosedur dan mekanisme konversi suara pemilih menjadi kursi
penyelenggara negara lembaga legislatif atau eksekutif baik Pusat maupun
daerah. Definisi ini sudah jelas menggambarkan tidak saja penyelenggara Negara lembaga apa saja yang dipilih melalui pemilihan umum
tetapi juga sudah menunjukkan bahwa pemilihan umum merupakan prosedur dan
mekanisme teknis untuk mengkonversi suara pemilih menjadi kursi penyelenggara
Negara. Akan tetapi definisi ini belum menunjukkan prosedur dan mekanisme
konversi tersebut dan belum menunjukkan asas-asas yang harus menuntun prosedur
dan mekanisme tersebut. Karena itu definisi tadi masih harus dilengkapi berupa
asas-asas pemilihan umum demokratik, dan tiga perangkat konversi tadi, yaitu
sistem pemilihan umum, proses penyelenggaraan tahapan Pemilu, dan logistik
Pemilu.
Kedua,
pemilihan umum merupakan mekanisme pendelegasian sebagian kedaulatan dari
rakyat kepada Peserta Pemilu dan/atau
calon anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden/Wakil Presiden, dan Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah untuk membuat dan
melaksanakan keputusan politik sesuai dengan kehendak rakyat. Seperti
definisi normatif di atas, definisi ini sudah menunjukkan mengapa harus
diselenggarakan pemilihan umum dan mengapa rakyat yang harus memilih
penyelenggara Negara, siapa saja penyelenggara Negara yang dipilih, dan untuk
apa penyelenggara negara dipilih. Akan tetapi definisi ini belum menyinggung
bagaimana memilih penyelenggara Negara dan apa asas yang menuntut pemilihan
umum tersebut. Dan ketiga, pemilihan umum merupakan mekanisme pemindahan
berbagai macam perbedaan dan pertentangan kepentingan dari masyarakat kedalam
lembaga legislatif dan eksekutif untuk
dibahas dan diputuskan secara terbuka dan beradab.
Selain
dari segi arti Pemilu, juga diperlukan ulasan tentang fungsi pemilihan umum.
Pertama, pemilihan umum berfungsi sebagai mekanisme perubahan politik mengenai
pola dan arah kebijakan publik, dan/atau
mengenai sirkulasi elit, secara periodik dan tertib. Kedua, pemilihan umum
berfungsi sebagai sarana integrasi nasional. Dan ketiga, pemilihan umum
(khususnya sistem pemilihan umum) juga berfungsi sebagai instrument
demokratisasi sistem politik, yang secara teknis dikenal sebagai perekayasaan
sistem pemilihan umum untuk membangun tata politik demokrasi (electoral
engineering for democratic political system).
Dalam
artian pertama di atas, sistem pemilihan umum merupakan mekanisme yang diadopsi
untuk mengubah suara rakyat menjadi kursi penyelenggara Negara (conversion of
votes into governmental seats or positions). Untuk mengkonversi suara rakyat
menjadi kursi penyelenggara Negara diperlukan dua perangkat lunak, yaitu sistem pemilihan umum, dan proses
penyelenggaraan tahapan Pemilu (electoral processes), dan satu perangkat keras,
yaitu logistik Pemilu. Setiap sistem pemilihan umum mengandung empat unsur
mutlak, yaitu: (1) besaran daerah pemilihan (district magnitude), (2) peserta
dan pola pencalonan (nomination), (3) model penyuaraan (balloting), dan (4)
formula pemilihan dan/atau penetapan calon terpilih (electoral formulae), dan
dua unsur pilihan, yaitu ambang-batas masuk DPR/D (electoral threshold), dan
pola kalender penyelenggaraan berbagai jenis Pemilu. Dalam setiap unsur
terdapat berbagai pilihan model, prosedur dan mekanisme, dan gabungan pilihan
dari setiap unsur itulah yang kemudian membentuk suatu sistem pemilihan umum.
Sistem pemilihan umum macam apakah yang diadopsi oleh suatu Negara tergantung
pada tatanan politik demokrasi yang hendak diwujudkan. Secara umum dikenal tiga
model sistem pemilihan umum, yaitu (a) sistem pemilihan umum
mayoritas-pluralitas yang di Indonesia lebih dikenal dengan sistem distrik
(suatu ungkapan yang agak aneh bagi Ilmu Politik karena setiap sistem pemilihan
umum memiliki daerah pemilihan alias distrik), (b) sistem pemilihan umum
perwakilan berimbang (proportional representation) yang di Indonesia dikenal
dengan sistem proporsional, dan (c) berbagai varian sistem pemilihan campuran
(mix electoral systems), antara lain Mix Members Parliament, MMP).
Nama
yang diberikan kepada sistem pemilihan umum sangat beragam, seperti sistem
proporsional, sistem mayoritas-pluralitas, First Pass The Post (FPTP), satu
kursi setiap daerah pemilihan (single-member constituency), banyak kursi setiap
daerah pemilihan (multi-member constituency), sistem daftar terbuka (closed
list system), sistem daftar tertutup (open list system), dan sistem preferensi
(alternative votes). Keragaman ini terjadi karena masing-masing pihak menamai
sistem pemilihan umum dari salah satu unsur sistem pemilihan umum. Mereka yang
melihat sistem pemilihan umum dari dimensi lingkup dan besaran daerah pemilihan
menamai sistem pemilihan umum itu sebagai single-member constituency atau
multi-members constituency. Bila sistem
pemilihan umum dilihat dari dimensi pencalonan, maka sistem pemilihan umum akan
dinamai sistem daftar terbuka atau
sistem daftar tertutup. Sistem pemilihan umum preferensi (baik total maupun
parsial) alias alternative votes, sebagaimana diterapkan di Australia,
merupakan nama sistem pemilihan umum yang dilihat dari dimensi model pemberian
suara. Tetapi bila sistem pemilihan umum dilihat dari dimensi formula
menentukan calon terpilih, maka nama yang diberikan terhadap sistem pemilihan
umum adalah sistem proporsional atau sistem mayoritas/pluralitas. Dari sekian
banyak nama yang diberikan terhadap sistem pemilihan tidak ada yang mampu
mencakup keempat unsur sistem pemilihan umum tersebut.
SISTEM PEMILIHAN UMUM
Sebelum membahas pilihan model,
pola, prosedur dan mekanisme dari setiap unsur sistem pemilihan umum yang
diadopsi dalam UU Nomor 8 Tahun 2012, terlebih dahulu akan dijelaskan keempat
unsur mutlak yang membentuk setiap sistem pemilihan umum. Selain keempat unsur
ini terdapat dua unsur yang tidak bersifat mutlak alias pilihan, yaitu
ambang-batas untuk dapat memasuki lembaga perwakilan (electoral threshold), dan
kalender waktu penyelenggaraan berbagai jenis Pemilu. Kedua unsur ini disebut
tidak mutlak karena tanpa salah satu dari kedua unsur ini keempat unsur sistem
pemilihan umum tersebut masih mampu mengkonversi suara pemilih menjadi kursi
penyelenggara negara. Disebut pilihan karena penggunaannya tergantung pada
tujuan yang hendak dicapai.
Lingkup dan
Besaran Daerah Pemilihan
Penentuan lingkup dan besaran
Daerah Pemilihan antara lain dipengaruhi oleh sistem perwakilan politik yang
diadopsi oleh suatu negara. Sistem perwakilan politik menggambarkan jenis
aspirasi apa saja yang perlu diwakili oleh lembaga legislatif tersendiri.
Sistem perwakilan politik unikameral hanya memiliki satu lembaga legislatif
untuk mewakili aspirasi orang/penduduk/rakyat, sedangkan sistem perwakilan
politik bikameral memiliki dua lembaga legislatif, yang satu mewakili aspirasi
orang/penduduk/rakyat dan yang satu lagi mewakili aspirasi ruang/wilayah/provinsi
atau negara Bagian. Aspirasi rakyat diwadahi dalam Dewan Perwakilan Rakyat,
sedangkan aspirasi wilayah diwadahi Senat atau Dewan Perwakilan Daerah. Uraian
tentang bagaimana menentukan jumlah anggota kedua lembaga ini, dan apa prinsip
yang mendasari dan bagaimana mengalokasikan kursi kedua lembaga ini ke daerah
pemilihan, dapat dibaca pada artikelSistem Perwakilan Politik: Kesetaraan
Pemilih dan Kesetaraan Daerah yang saya
tulis.
Dimensi pertama menyangkut
lingkup dan besaran daerah pemilihan
(district magnitude) untuk
pemilihan anggota DPR dan DPRD, dan untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD). Yang dimaksud dengan daerah pemilihan ialah batas wilayah
administrasi dan/atau jumlah penduduk tempat peserta Pemilu dan/atau calon bersaing
memperebutkan suara pemilih, dan karena itu juga menjadi dasar penentuan
perolehan kursi bagi peserta dan/atau
calon terpilih. Lingkup daerah pemilihan dapat ditentukan berdasarkan
(a) wilayah administrasi pemerintahan (nasional, provinsi atau kabupaten/kota),
(b) jumlah penduduk, atau, (c) kombinasi faktor wilayah dengan jumlah penduduk.
Besaran daerah pemilihan merujuk pada jumlah kursi untuk setiap daerah
pemilihan, yaitu apakah satu kursi untuk setiap daerah pemilihan (single-member
constituency) ataukah banyak kursi untuk setiap daerah pemilihan (multi-member
constituencies). Multi-members Constituency masih dapat dibedakan menjadi tiga,
yaitu small (3-5), medium (6-9), dan large (>10) constituencies.
Karena Perubahan Ketiga UUD 1945
mengadopsi sistem perwakilan rakyat berupa “hampir bikameral” (bukan soft
bicameral dan bukan pula strong bicameral), yaitu keberadaan DPR sebagai
lembaga perwakilan yang mewakili penduduk (orang) sedangkan DPD mewadahi
keterwakilan daerah (ruang) tetapi dengan kewenangan yang terbatas, maka yang
perlu dicermati dalam UU Pemilu ialah
apakah daerah pemilihan anggota DPR didasarkan sepenuhnya pada jumlah penduduk
ataukah berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan? Kalau sepenuhnya
berdasarkan jumlah penduduk, maka jumlah kursi DPR tidak boleh tetap melainkan
dapat berubah sekali dalam 10 tahun sesuai dengan hasil sensus penduduk, dan
alokasi kursi DPR kepada setiap provinsi juga sepenuhnya berdasarkan jumlah
penduduk, sehingga tidak saja ‘prinsip satu orang, satu suara dan satu nilai’
(OPOVOV) akan dapat diwujudkan tetapi juga jumlah kursi DPR di pulau Jawa akan
lebih banyak daripada jumlah kursi DPR untuk luar pulau Jawa karena lebih
banyak penduduk Indonesia timggal di Pulau Jawa daripada Luar Pulau Jawa. Kalau
DPD tidak memiliki kewenangan yang setara dengan DPR, maka alokasi kursi DPR
untuk setiap provinsi kemungkinan besar tidak ditetapkan berdasarkan jumlah
penduduk saja tetapi juga berdasarkan pertimbangan wilayah/daerah.
Lingkup dan besaran daerah
pemilihan anggota DPR menurut UU No. 8
Tahun 2012 dapat digambarkan
sebagai berikut. Pertama, daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi atau
bagian-bagian dari provinsi. Kedua, jumlah anggota DPR ditetapkan sebanyak 560
orang. Ketiga, jumlah kursi DPR untuk setiap provinsi ditetapkan sebagai
Lampiran Undang-Undang yang pada dasarnya sama dengan alokasi kursi DPR pada
Pemilu 2009, dan alokasi kursi DPR untuk Pemilu 2009 adalah perbaikan atas
alokasi DPR pada Pemilu 2004 karena adanya penambangan 10 kursi DPR. Dan keempat,
setiap daerah pemilihan mendapat alokasi kursi antara tiga sampai 10 kursi.
Akan tetapi UU sama sekali tidak menentukan persyaratan lain untuk membentuk
suatu daerah pemilihan selain wilayah administrasi dan jumlah penduduk. Uraian
lengkap tentang persyaratan pembentukan daerah pemilihan, dipersilakan membaca
artikel yang saya tulis berjudul: Demokrasi dan Pembentukan Daerah Pemilihan,
yang dimuat harian Kompas, Selasa 19 Maret 2013, h. 6. Lingkup dan besaran daerah pemilihan anggota
DPD secara jelas sudah ditetapkan dalam UU No. 8 Tahun 2012, yaitu daerah
pemilihan anggota DPD adalah provinsi, dan setiap daerah pemilihan ini mendapat
alokasi empat kursi.
Peserta dan Pola Pencalonan
Dimensi
yang kedua berkaitan dengan Peserta dan pola pencalonan.
Tiga
kemungkinan untuk Peserta Pemilu: partai politik yang memenuhi persyaratan
menjadi Peserta Pemilu, calon yang diajukan oleh partai politik, dan/atau calon
nonpartai (independen). Siapa yang menjadi Peserta Pemilu dan apa saja
persyaratan yang harus dipenuhi (persyaratan yang ringan ataukah berat) sudah
barang tentu tergantung pada sistem kepartaian ataupun sistem perwakilan
politik yang hendak diwujudkan. Kalau partai politik yang menjadi peserta
Pemilu, maka calon dapat saja diseleksi dan diajukan oleh pengurus partai
politik tetapi dapat pula diseleksi oleh pengurus partai tetapi dipilih oleh
anggota partai secara terbuka dan kompetitif melalui pemilihan pendahuluan.
Jumlah calon yang dapat diajukan sudah barang tentu tergantung pada besaran
daerah pemilihan, yaitu berapa kursi yang ditetapkan untuk setiap daerah
pemilihan tertentu. Apabila partai politiklah yang mengajukan calon, sedangkan
untuk suatu daerah pemilihan dialokasikan lebih dari satu kursi, maka daftar
calon yang diajukan partai politik dapat bersifat tertutup, yaitu nomor urut
calon yang akan mendapatkan kursi ditentukan oleh pengurus partai politik
(party list), tetapi dapat pula bersifat terbuka, yaitu nomor urut calon yang akan mendapatkan kursi ditentukan
oleh pemilih berdasarkan rangking jumlah suara yang diperoleh setiap calon
(open list). Pilihan atas peserta Pemilu, pihak yang mengajukan calon, dan pola
pencalonan sudah barang tentu akan mempunyai implikasi tidak saja pada
keterwakilan berbagai kelompok masyarakat dalam lembaga perwakilan tetapi juga
pada kualitas calon terpilih.
Aspek
lain yang juga termasuk ke dalam pola pencalonan adalah upaya menjamin
keterwakilan kelompok masyarakat yang karena faktor kultural dan struktural
atau karena jumlahnya kecil sampai kapanpun akan tetap “tak terwakili”
(unrepresented) atau “terwakili secara rendah” (underrepresented) dalam lembaga
perwakilan rakyat. Setidak-tidaknya tiga cara untuk menjamin keterwakilan
kelompok masyarakat tertentu, seperti perempuan, kelompok pekerja di luar
negeri, kelompok suku bangsa, dan kelompok agama. Pertama, UU menjamin sejumlah
kursi tertentu untuk kelompok masyarakat tersebut (reserved seats) sehingga
calon yang memperebutkan kursi itu juga hanya berasal dari kelompok masyarakat
tersebut, seperti jaminan tiga kursi untuk pekerja Filipina di luar negeri.
Kedua, kebijakan kuota calon, yaitu UU mewajibkan partai politik mengajukan
sekurang-kurangnya dalam persentase tertentu (30% atau 50%) perempuan dalam
daftar calon di setiap daerah pemilihan. Dan ketiga, kebijakan kuota calon
dalam nomor kecil, yaitu mewajibkan partai politik mengajukan
sekurang-kurangnya seorang perempuan dalam setiap tiga calon, atau, menempatkan
perempuan dan laki-laki dalam nomor ganjil atau genap.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, Peserta Pemilu anggota DPR dan DPRD
adalah partai politik, sedangkan berdasarkan Pasal 22E ayat (4) Peserta Pemilu
Anggota DPD adalah perseorangan. Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2012, partai
politik harus memenuhi sejumlah persyaratan yang cukup berat untuk dapat menjadi Peserta Pemilu,
baik yang menyangkut jumlah kepengurusan pada tingkat provinsi, kabupaten/kota
dan kecamatan beserta kantor tetap untuk setiap tingkat kepengurusan maupun
yang menyangkut jumlah anggota di setiap kabupaten/kota. Partai politik yang
memenuhi persyaratan tersebut akan ditetapkan KPU sebagai Peserta Pemilu.
Sebagai Peserta Pemilu, partai dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya sama
dengan jumlah kursi yang dialokasikan di setiap Daerah Pemilihan. Partai
Politik mengajukan daftar nama bakal calon berdasarkan nomor urut berdasarkan
hasil pemilihan secara demokratik dan terbuka sebagaimana diatur dalam AD/ART
Partai. Selain itu setiap partai politik
wajib mengajukan sekurang-kurangnya 30% perempuan dalam dalam daftar bakal calon
untuk setiap Daerah Pemilihan, dan wajib mengajukan sekurang-kurangnya seorang
perempuan untuk setiap tiga calon dalam daftar bakal calon tersebut.
Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2012, anggota partai dapat saja mencalonkan diri
sebagai calon anggota DPD sepanjang tidak atas nama partai melainkan atas nama
perseorangan. Sebagaimana halnya dengan partai politik, untuk dapat menjadi
calon perseorangan dari suatu provinsi yang bersangkutan tidak hanya harus
berdomisili di provinsi tersebut tetapi juga harus memenuhi sejumlah
persyaratan yang tidak ringan, seperi dukungan pemilih dalam persentase
tertentu dari jumlah penduduk provinsi tersebut.
Model
Pemberian Suara
Dimensi
ketiga menyangkut model pemberian suara (balloting), yang partai politik, atau
kepada kandidat, ataukah keduanya; (b) apakah pemberian suara dilakukan secara
kategorik (ini atau itu) ataukah, secara ordinal, seperti sistem preferensi,
yaitu merangking pilihan atas sejumlah calon (alternative votes); dan (c)
apakah pemberian suara dilakukan secara manual (menggunakan surat suara)
ataukah menggunakan elektronik (E-Voting). Alternatif pilihan yang diberikan
terhadap (a) dan (b) mempunyai implikasi yang luas terhadap banyak hal, seperti
kepada siapa calon terpilih akan bertanggung-gugat (akuntabel), orientasi
politik peserta Pemilu apakah inklusif ataukah eksklusif, dan pola perilaku
memilih apakah berupa politik massa ataukah citizen politics. Pilihan atas (c)
akan mempunyai implikasi tidak saja pada efisiensi waktu dan biaya tetapi juga
pada kualitas pemilihan umum.
Pemberian
suara, menurut UU No. 8 Tahun 2012, dilakukan secara kategorik. Suara diberikan
kepada satu partai politik dan/atau seorang nama calon, dan pemberian suara
dilakukan secara manual. Kalau dalam Pemilu 2009 pemilih memberikan suara
dengan memberikan tanda centang (menyontreng), pada Pemilu 2014 pemilih akan
memberikan suara dengan mencoblos seperti pada masa lalu. Pemilih memberikan
suaranya dengan mencoblos satu tanda gambar, atau, mencoblos nomor urut atau
nama seorang calon, atau, mencoblos satu tanda gambar partai dan nomor urut
atau nama seorang calon yang dicalonkan partai yang dicoblos tersebut.
Mencoblos nomor urut atau nama seorang calon berarti juga memberikan suara
kepada partai yang mengajukan calon tersebut. Kalau memberikan suara kepada
seorang nama calon berarti suara pemilih tersebut tidak hanya ikut menentukan
perolehan kursi partai tetapi juga menentukan calon terpilih. Sebaliknya suara
yang diberikan kepada partai politik hanya ikut menentukan perolehan kursi partai.
Tata Cara Penyelenggaraan Pemilu Legislatif
1. Masa tenang Pengucapan
sumpah/janji anggota DPR, DPD dan DPRD Tahapan Yang Sedang Berjalan Pemungutan
dan penghitungan suara Tahapan Yang Akan Berjalan Pelaksanaan kampanye.
2. PESERTA PEMILU 1 NASDEM 2 PKB
3 PKS 4 PDIP 6 Gerindra GOLKAR5 7 Demokrat 8 PAN 9 PPP 14 PBB 15 PKPI 10 HANURA,
PARTAI LOKAL ACEH 11 12 13.
3. METODE KAMPANYE 1 • Pertemuan
tatap muka • Penyebaran bahan Kampanye 2 • Pemasangan alat peraga • Iklan di
media massa 3 • Rapat umum • Kegiatan lain yang tidak melanggar larangan
kampanye dan peraturan TAHAPAN KAMPANYE dan JADWAL KAMPANYE.
4. Kategorisasi Pemilih Pemilih
yang terdaftar dalam DPT di TPS yang bersangkutan Pemilih yang terdaftar dalam
DPTb Pemilih khusus yang terdaftar dalam DPK Pemilih khusus tambahan yang
terdaftar dalam DPKTb PENGHITUNGAN SUARA DI TPS.
5. Alasan Menjadi DPTb
Menjalankan tugas di tempat lain pada hari dan tanggal pemungutan suara
Menjalani rawat inap di rumah sakit Menjadi tahanan di Rutan atau LP Tugas
belajar, pindah domisili dan tertimpa bencana alam.
6. Pengelolaan DPTb Melapor
kepada PPS asal untuk memperoleh formulir Model A5-KPU PPS menandatangani dan
memberikan formulir Model A5-KPU serta mencoret nama Pemilih tersebut dari DPT
pada TPS asal Pemilih melapor kepada PPS tempat Pemilih akan memberikan
suaranya paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara
Menunjukkan identitas berupa KTP atau Identitas Lain dan formulir Model A5-KPU
Yang tidak sempat melapor ke PPS tetap dapat menggunakan hak pilihnya pada saat
pemungutan suara Pemilih diberikan surat suara DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota Diberi kesempatan memilih dari pukul 07.00-13.00 WIB.
7. Pengelolaan DPK Melapor kepada
PPS sejak tanggal ditetapkan DPT oleh KPU Kabupaten/Kota- paling lambat 14 hari
sebelum hari dan tanggal pemungutan suara Menunjukkan KTP atau identitas lain
dari RT/RW/kepala dusun/ kepala desa/lurah setempat Dicatat dalam DPK dan
disampaikan oleh PPS kepada KPU Provinsi melalui PPK dan KPU Kabupaten/Kota
untuk ditetapkan oleh KPU Provinsi paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari
dan tanggal pemungutan suara Memberikan suara di TPS yang berada di wilayah
RT/RW atau nama lain sesuai dengan alamat yang tercantum dalam KTP atau
Identitas Lain atau Paspor.
8. Pengelolaan DPK Tb Memberikan
suara pada hari dan tanggal pemungutan suara di TPS RT/RW atau nama lain sesuai
dengan alamat yang tertera dalam KTP dan KK atau nama sejenisnya atau Paspor
Mendaftarkan diri di TPS kepada KPPS dengan menunjukkan KTP dan KK atau nama
sejenisnya atau Pasport Memberikan suara di TPS 1 (satu) jam sebelum berakhirnya
waktu pemungutan suara.
9. PEMUNGUTAN SUARA Persiapan
KPPS mengumumkan hari, tanggal, dan waktu Pemungutan Suara, serta nama TPS
kepada Pemilih paling lambat 5 (lima) hari sebelum hari dan tanggal Pemungutan
Suara KPPS menyampaikan formulir Model C6 untuk memberikan suara kepada Pemilih
yang terdaftar dalam DPT, DPTb, dan DPK paling lambat 3 hari sebelum hari dan
tanggal pemungutan suara Jika terdapat pemilih yang terdaftar dalam DPT, DPTb,
atau DPK, dan belum menerima formulir Model C6, atau formulir Model C6 tersebut
hilang dan belum melapor, Pemilih yang bersangkutan dapat memberikan suara di
TPS dengan menunjukkan KTP atau identitas lain atau Paspor.
10. Kegiatan Pra Pemungutan Suara
Membuka kotak suara Memeriksa sampul yang berisi Surat Suara Pemilu Anggota
DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota masih dalam keadaan disegel
Mengeluarkan seluruh isi kotak suara di atas meja secara tertib dan teratur
Mengidentifikasi dan menghitung jumlah setiap jenis dokumen dan peralatan
Menghitung dan memeriksa kondisi seluruh Surat Suara termasuk surat suara
cadangan sebanyak 2% (dua persen) dari jumlah Pemilih yang tercantum dalam DPT
Memperlihatkan kepada Pemilih dan Saksi yang hadir bahwa kotak suara
benar-benar telah kosong, menutup kembali, mengunci kotak suara dan
meletakkannya di tempat yang telah ditentukan Memastikan kesesuaian dengan
dapil dan menandatangani Surat Suara yang akan digunakan.
11. Tata Cara Pemberian Suara
Memastikan Surat Suara yang diterima telah ditandatangani oleh Ketua KPPS
Menggunakan alat coblos yang telah disediakan berupa paku Pemberian suara
dilakukan dengan cara mencoblos Mencoblos pada kolom yang berisi nomor urut dan
nama calon Mencoblos pada kolom yang berisi nomor urut, tanda gambar, dan nama
Partai Politik Peserta Pemilu Mencoblos pada Partai Politik Peserta Pemilu yang
sama Pemberian suara pada Surat Suara Pemilu Anggota DPD dilakukan dengan cara
mencoblos pada nomor urut calon atau foto calon atau nama calon sepanjang dalam
satu kolom calon yang sama.
12. Pemberian Suara Bagi Pemilih
Khusus Tambahan Memberikan suara 1 (satu) jam sebelum waktu Pemungutan Suara di
TPS berakhir KPPS memberikan Surat Suara kepada Pemilih dengan mempertimbangkan
ketersediaan Surat Suara di TPS Jika Surat Suara di TPS telah habis, Pemilih
khusus diarahkan untuk memberikan suara di TPS lain yang terdekat TPS lain yang
terdekat masih dalam satu wilayah kerja PPS sesuai alamat tempat tinggal
Pemilih yang tercantum dalam KTP dan KK atau Identitas lain atau Paspor.
13. Pemberian Bantuan Untuk
Pemilih Pemilih yang tidak dapat berjalan, pendamping yang ditunjuk membantu
Pemilih menuju bilik suara, dan pencoblosan Surat Suara dilakukan oleh Pemilih
sendiri Pendamping yang ditunjuk membantu Pemilih wajib merahasiakan pilihan
Pemilih yang bersangkutan, dan menandatangani surat pernyataan dengan
menggunakan Formulir Model C3 Pemilih yang tidak mempunyai dua belah tangan dan
tunanetra, pendamping yang ditunjuk membantu mencoblos Surat Suara sesuai
kehendak Pemilih dengan disaksikan oleh salah satu Anggota KPPS.
14. PENGHITUNGAN SUARA Pencatatan
Surat Suara Ke Dalam Formulir C1 Jumlah Pemilih terdaftar dalam salinan DPT
yang memberikan suara Jumlah Pemilih terdaftar dalam DPK yang memberikan suara
Jumlah Pemilih terdaftar dalam DPTb yang memberikan suara Jumlah Surat Suara
yang diterima termasuk Surat Suara cadangan Jumlah Pemilih yang memberikan
suara menggunakan KTP dan KK atau Identitas lain atau Paspor (DPKTb) Jumlah
Surat Suara yang dikembalikan oleh Pemilih karena rusak atau keliru mencoblos
Jumlah Surat Suara yang tidak terpakai Jumlah Surat Suara cadangan yang tidak
terpakai Pencatatan surat suara dimulai dari surat suara DPR, DPD, DPRD Provinsi
dan DPRD Kabupaten/Kota.
15. Tata Cara Penghitungan Suara
Membuka kunci dan tutup kotak suara dengan disaksikan oleh semua yang hadir
Menghitung jumlah Surat Suara dan memberitahukan jumlah tersebut kepada yang
hadir serta mencatat jumlah yang diumumkan Mengeluarkan Surat Suara dari kotak
suara Menetapkan jumlah surat suara yang telah diumumkan dengan yang disaksikan
oleh yang hadir dan/atau Saksi Mencatat hasil penghitungan surat suara yang
diumumkan sebagaimana dimaksud pada huruf d dengan menggunakan formulir Model
C1 Penghitungan dan pencatatan hasil dimulai dari surat suara anggota DPR, DPD,
DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
16. Suara Sah Tanda coblos pada
kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar, dan nama Partai Politik, suaranya
dinyatakan sah untuk Partai Politik Tanda coblos pada kolom yang memuat nomor
urut, tanda gambar, dan nama Partai Politik, serta tanda coblos lebih dari 1
(satu) calon pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon dari Partai
Politik yang sama, suaranya dinyatakan sah 1 (satu) suara untuk Partai Politik
Tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut dan nama calon anggota, suaranya
dinyatakan sah untuk nama calon yang bersangkutan dari Partai Politik yang
mencalonkan Tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut, tanda gambar dan nama
Partai Politik, serta tanda coblos pada kolom yang memuat nomor urut dan nama
calon dari Partai Politik yang bersangkutan, suaranya dinyatakan sah untuk nama
calon yang bersangkutan dari Partai Politik yang mencalonkan Tanda coblos pada
kolom yang memuat nomor urut dan nama calon anggota DPD, suaranya dinyatakan
sah untuk Calon Anggota DPD yang bersangkutan.
17. Kegiatan Setelah Penghitungan
Suara Menghitung dan memisahkan Surat Suara yang sudah diperiksa dan suaranya
dinyatakan sah untuk suara sah masing-masing Partai Politik dan suara sah
masing- masing calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota,
kemudian diikat dengan karet dan dimasukkan ke dalam sampul kertas Surat Suara
yang sudah diperiksa dan suaranya dinyatakan tidak sah, masing-masing
dipisahkan untuk suara tidak sah Pemilu Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota, kemudian masing-masing diikat dengan karet dan dimasukkan ke
dalam sampul kertas Hasil penyusunan/penghitungan suara dicocokkan dengan hasil
Penghitungan Suara berdasarkan pencatatan pada Formulir Model C1 DPR Plano
Berhologram, Model C1 DPD Plano Berhologram, Model C1 DPRD Provinsi Plano
Berhologram, Model C1 DPRD Kabupaten/Kota Plano Berhologram Menghitung dan
memisahkan Surat Suara yang sudah diperiksa dan suaranya dinyatakan sah untuk
masing-masing calon Anggota DPD, kemudian diikat dengan karet dan dimasukkan ke
dalam sampul kertas Surat Suara yang sudah diperiksa dan suaranya dinyatakan
tidak sah untuk Pemilu Anggota DPD, kemudian diikat dengan karet dan dimasukkan
ke dalam sampul kertas.
18. Penyusunan dan Pengisian
Formulir C Menyusun dan mengisi formulir Model C, Model C1, Lampiran Model C1
DPR, Lampiran Model C1 DPD, Lampiran Model C1 DPRD Provinsi, dan Lampiran Model
C1 DPRD Kabupaten/Kota, berdasarkan formulir penghitungan suara yang
Berhologram Formulir Model C, Model C1, Lampiran Model C1 DPR, Lampiran Model
C1 DPD, Lampiran Model C1 DPRD Provinsi, dan Lampiran Model C1 DPRD Kabupaten/
Kota dimasukkan ke dalam sampul kertas dan disegel Formulir Model C, Model C1
Berhologram, Lampiran Model C1 DPR Berhologram, Lampiran Model C1 DPD
Berhologram, Lampiran Model C1 DPRD Provinsi Berhologram, dan Lampiran Model C1
DPRD Kabupaten/Kota Berhologram dimasukkan ke dalam sampul kertas dan disegel
Sampul dimasukkan ke dalam kotak suara Pemilu Anggota DPR, dan pada bagian luar
kotak suara ditempel label serta segel dan dikunci Formulir Model C, Model C1
Berhologram, Model C1 Berhologram, Lampiran Model C1 DPR Berhologram, Lampiran
Model C1 DPD Berhologram, Lampiran Model C1 DPRD Provinsi Berhologram, dan
Lampiran Model C1 DPRD Kabupaten/Kota Berhologram dan Lampiran Model C1 DPR,
Lampiran Model C1 DPD, Lampiran Model C1 DPRD Provinsi, dan Lampiran Model C1
DPRD Kabupaten/Kota ditandatangani oleh Ketua KPPS dan paling kurang 2 (dua)
orang Anggota KPPS serta dapat ditandatangani oleh Saksi yang hadir Dalam hal
Saksi Partai Politik atau Saksi calon Anggota DPD yang hadir tidak bersedia
menandatangani formulir cukup ditandatangani oleh Saksi Partai Politik atau Saksi
calon Anggota DPD yang bersedia menandatangani Penandatanganan formulir
dilakukan setelah rapat Penghitungan Suara Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota selesai.
19. Hak Saksi Partai Politik
Salinan DPT, Salinan DPTb Salinan DPK dan Salinan A.T.Khusus-KPU Formulir Model
C Formulir Model C1, Lampiran Model C1 DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota,
dan Model C2.
20. Hak Saksi Calon Anggota DPD
Salinan DPT Salinan DPTb Salinan DPK (Model A Khusus KPU) Salinan
A.T.Khusus-KPU Formulir Model C Formulir Model C1 DPD, Lampiran Model C1 DPD,
dan Model C2.
21. Penyelesaian Keberatan
Saksi/PPL dapat mengajukan keberatan terhadap prosedur dan/atau selisih
penghitungan perolehan suara kepada KPPS Dalam hal keberatan yang diajukan Saksi/PPL
dapat diterima, KPPS mengadakan pembetulan Dalam hal terdapat keberatan
Saksi/PPL, KPPS wajib menjelaskan prosedur dan/atau mencocokan selisih
perolehan suara dengan formulir sertifikat hasil penghitungan suara dan C1
Plano Pembetulan hasil penghitungan perolehan suara dilakukan koreksi dengan
cara mencoret angka yang salah dan menuliskan angka yang benar dengan dibubuhi
paraf Ketua KPPS dan Saksi Dalam hal pembetulan yang telah dilakukan KPPS masih
terdapat keberatan dari Saksi, KPPS meminta pendapat dan rekomendasi PPL yang
hadir KPPS wajib menindaklanjuti rekomendasi PPL KPPS wajib mencatat seluruh
kejadian dalam rapat penghitungan suara pada formulir Model C2 DPR/ DPD/DPRD
Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota KPPS memberi kesempatan kepada Saksi, PPL dan Pemantau
Pemilu untuk mendokumentasikan hasil penghitungan suara Dokumen dapat berupa
foto atau video.